Rabu, 23 Juli 2008

Filsafat Umum

Tugas 4:

1. Tuliskan teori dan pemikiran Aristoteles tentang Etika dan Negara??

Jawab :

Aristoteles mempunyai perhatian khusus terhadap masalah etika. Karena etika bukan diperuntukkan sebagai cita-cita, akan tetapi dipakai sebagai hukum kesusilaan. Menurut pendapatnya, tujuan tertinggi hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan adalah suatu keadaan di mana segala sesuatu yang termasuk dalam keadaan bahagia telah berada dalam diri manusia. Jadi, bukan sebagai kebahagiaan subjektif. Kebahagiaan harus sebagai suatu aktivitas yang nyata, dan dengan perbuatannya itu dirinya semakin disempurnakan. Kebahagiaan manusia yang tertinggi adalah berpikir murni.

Menurut Aristoteles, Negara akan damai apabila rakyatnya juga damai. Negara yang paling baik adalah Negara dengan sistem demokrasi moderat, artinya sistem demokrasi yang berdasarkan Undang-Undang Dasar.

2. Carilah informasi tentang Filsafat Skolastik melalui 5 tokoh dan pendapatnya?

Jawab :

Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Jadi, skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan sekolah. Perkataan skolastik merupakan corak khas dari sejarah filsafat abad pertengahan.

Terdapat beberapa pengertian tentang filasafat skolastik diantaranya sebagai berikut:

a. Filasafat skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama.

b. Filasafat skolastik adalah filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik dan buruk.

c. Filsafat skolastik adalah suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat, akan dimasukkan ke dalam bentuk sintesis yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.

d. Filasafat skolastik adalah filsafat Nasrani karena banyak dipengaruhi oleh ajaran gereja.

Filsafat Skolastik ini dapat berkembang dan tumbuh karena beberapa faktor yaitu faktor religius dan faktor ilmu pengetahuan.

1) Peter Abaelardus (1079-1180)

Abaelardus memberikan alasan bahwa berpikir itu berada di luar iman. Karena itu berpikir merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Hal ini sesuai dengan metode dialektika yang tanpa ragu-ragu ditunjukkan dalam teologi, yaitu bahwa teologi harus memberikan tempat bagi semua bukti-bukti. Dengan demikian, dalam teologi itu iman hampir kehilangan tempat. Ia mencontohkan, seperti ajaran Trinitas juga berdasarkan pada bukti-bukti, termasuk bukti dalam wahyu Tuhan.

2) Albertus Magnus (1203-1280)

Di samping sebagai biarawan, Albertus Magnus juga dikenal sebagai cendikiawan abad pertengahan,. Ia lahir dengan nama Albert von Bollstadt yang juga dikenal sebagai “doktor universalis” dan “doktor magnus”. Ia mempunyai kepandaian luar biasa. Di universitas Padua ia belajar artes liberles, ilmu-ilmu pengetahuan alam, kedokteran, filsafat Aristoteles, belajar teologi di Bulogna, dan masuk ordo Dominican tahun 1223, kemudian masuk ke Koln menjadi dosen filsafat dan teologi.

Terakhir ia di angkat sebagai uskup agung. Pola pemikirannya meniru Ibnu Rusyd dalam menulis tentang Aristoteles. Dalam bidang ilmu pengetahuan, ia mengadakan penelitian dalam ilmu biologi dan ilmu kimia.

3) Thomas Aquinas (1225-1274)

Menurut Aquinas, semua kebenaran asalnya dari Tuhan. Kebenaran diungkapkan dengan jalan yang berbeda-beda, sedangkan iman berjalan di luar jangkauan pemikiran. Ia mengimbau agar orang-orang untuk mengetahui hukum alamiah (pengetahuan) yang terungkap dalam kepercayaan. Tidak ada kontradiksi antara pemikiran dan iman. Semua kebenaran mulai timbul secara ketuhanan walaupun iman diungkapkan lewat beberapa kebenaran yang berada di luar kekuatan pikir.

Aquinas telah menafsirkan pandangan bahwa Tuhan sebagai Tukang Boyong yang tidak pernah berubah dan yang tidak berhubungan dengan atau tidak mempunyai pengetahuan tentang kejahatan-kejahatan di dunia. Tuhan tidak pernah mencipta dunia, tetapi zat dan pemikirannya tetap abadi.

Selanjutnya ia katakana bahwa iman lebih tinggi dan berada di luar pemikiran yang berkenaan sifat Tuhan dan alam semesta. Timbulnya pokok persoalan yang aktual dan praktis dari gagasannya adalah “pemikirannya dan kepercayaannya telah menemukan kebenaran mutlak yang harus diterima oleh orang-orang lain”. Pandanganya inilah yang menjadikan perlawanan kaum Protestan karena sikapnya yang otoriter.

4) William Ockham (1285-1349)

Ia merupakan ahli pikir Inggris yang beraliran skolastik dan ia menolak ajaran Thomas dan mendalilkan bahwa kenyataan itu hanya terdapat pada benda-benda satu demi satu, dan hal-hal yang umum itu hanya tanda-tanda abstrak.

Menurut pendapatnya, pikiran manusia hanya dapat mengetahui barang-barang atau kejadian-kejadian individual. Konsep-konsep atau kesimpulan-kesimpulan umum tentang alam hanya merupakan abstraksi buatan tanpa kenyataan. Pemikiran yang demikian ini, dapat dilalui hanya lewat intuisi, bukan lewat logika. Di samping itu, ia membantah anggapan skolastik bahwa logika dapat membuktikan doktrin teologis. Hal ini akan membawa kesulitan dirinya yang pada waktu itu sebagai penguasanya Paus John XXII.

5) Nicolas Cusasus (1401-1464)

Ia sebagai tokoh pemikir yang berada paling akhir masa skolastik. Menurut pendapatnya, terdapat tiga cara untuk mengenal, yaitu lewat indra, akal, dan intuisi. Dengan indra kita akan mendapatkan pengetahuan tentang benda-benda berjasad, yang sifatnya tidak sempurna. Dengan akal kita akan mendapatkan bentuk-bentuk pengertian yang abstrak berdasar pada sajian atau tangkapan indra. Dengan intuisi, kita akan mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi. Hanya dengan intuisi inilah kita akan dapat mempersatukan apa yang oleh akal tidak dapat dipersatuka. Manusia seharusnya menyadari akan keterbatasan akal, sehingga banyak hal yang seharusnya dapat diketahui. Karena keterbatasan akal tersebut, hanya sedikit saja yang dapat diketahui oleh akal. Dengan intuisi inilah diharapkan akan sampai pada kenyataan, yaitu suatu tempat dimana segala sesuatu bentuknya menjadi larut, yaitu Tuhan.

3. Tokoh filosofi dari zaman Renaissance antara lain Leonardo da Vinci, Machiavelli, Michelangelo, dan Giordano Bruno. Apa yang anda ketahui tentang mereka? Jelaskan!!!

Jawab :

Renaissance atau kelahiran kembali di Eropa merupakan suatu gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia, kemudian di Prancis, Spanyol, dan selanjutnya hingga menyebar keseluruh Eropa. Dan dibawah ini merupakan tokoh-tokoh filosofi dari zaman Renaissance.

A. Leonardo da VinciLeonardo da Vinci (15 April 14522 Mei 1519) adalah arsitek, musisi, penulis, pematung, dan pelukis Renaisans Italia. Ia digambarkan sebagai arketipe "manusia renaisans" dan sebagai jenius universal. Leonardo terkenal karena lukisannya yang piawai, seperti Jamuan Terakhir dan Mona Lisa. Ia juga dikenal karena mendesain banyak ciptaan yang mengantisipasi teknologi modern tetapi jarang dibuat semasa hidupnya, sebagai contoh ide-idenya tentang tank dan mobil yang dituangkannya lewat gambar-gambar dwiwarna.Selain itu, ia juga turut memajukan ilmu anatomi, astronomi, dan teknik sipil bahkan juga kuliner.

B. Michaelangelo Buonarroti' atau nama lengkapnya dalam bahasa Italia Michelangelo di Lodovico Buonarroti Simoni (dalam bahasa Spanyol disebut Miguel Ángel; dalam bahasa Perancis disebut Michel-Ange, yang kurang lebih berarti Malaikat Mikail) (6 Maret, 1475 - 18 Februari, 1564) adalah seorang pelukis, pemahat, pujangga, dan arsitek zaman Renaissance. Ia terkenal untuk sumbangan studi anatomi di dalam Seni Rupa. Karyanya yang dianggap terbaik adalah Patung David, Pietà, dan Fresko di langit-langit Sistine's Chapel.

C. Niccolo Machiavelli

Niccolò Machiavelli (3 Mei 146921 Juni 1527) adalah diplomat dan politikus Italia yang juga seorang filsuf. Sebagai ahli teori, Machiavelli adalah figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa Renaisans. Dua bukunya yang terkenal, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan Il Principe (Sang Pangeran), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi pemerintahan di Italia Utara, kemudian menjadi buku umum dalam berpolitik di masa itu.

Il Principe, atau Sang Pangeran menguraikan tindakan yang bisa atau perlu dilakukan seorang seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.

Nama Machiavelli, kemudian diasosiasikan dengan hal yang buruk, untuk menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Orang yang melakukan tindakan seperti ini disebut makiavelis.

D. Western Philosophy

Renaissance philosophy

Giordano Bruno (1548, NolaFebruary 17, 1600, Rome) was an Italian philosopher, priest, cosmologist, and occultist. Bruno is known for his use and development of the art of memory, a mnemonic system based upon organized knowledge. He was also an early proponent of the idea of an infinite and homogeneous universe. Burnt at the stake as a heretic by the Roman Inquisition, Bruno is seen by some as the first "martyr [1] for science."

Senin, 21 Juli 2008

Filsafat Umum

1. Tugas Filsafat Umum: Mencari sumber lain yang memberi makna tentang "philos", "sophos", “philein", dan "sophia" serta manfaat belajar filsafat.

Kata filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".

Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis. Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.

Menurut Imam Bernadib menganggap bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia dan philosophos. Kata ini terambil dari kata philos dan sophia atau philos dan sophos. Philos berarti cinta dan sophia atau sophos berarti kebijaksanaan, pengetahuan dan hikmah. Seseorang dapat disebut telah berfilsafat menurut Bernadib, apabila seluruh ucapan dan perilakunya mengandung makna dan ciri sebagai orang yang cinta terhadap kebijaksanaan, cinta terhadap pengetahuan dan cinta terhadap hikmah.

Menurut Harun Nasution, falsafat berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua kata, yakni philein dalam arti cinta dan sophos dalam arti hikmat (wisdom).


  • Manfaat belajar filsafat bagi seorang akademisi adalah kita dapat mengerti tentang apa arti filsafat dan dapat dimanfaatkan untuk bagaimana cara berfikir secara rasional serta dapat mempertimbangkan bagaimana mengambil keputusan secara lebih hati-hati untuk mencari solusi dari suatu masalah yang dihadapi.

2. Tugas Filsafat Umum: 5 filsuf terkemuka yunani serta buah pikirannya.

1.Plato (bahasa Yunani Πλάτων) (lahir sekitar 427 SM - meninggal sekitar 347 SM) adalah filsuf Yunani yang sangat berpengaruh, murid Socrates dan guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal ialah Republik (dalam bahasa Yunani Πολιτεία atau Politeia, "negeri") di mana ia menguraikan garis besar pandangannya pada keadaan "ideal". Dia juga menulis 'Hukum' dan banyak dialog di mana Socrates adalah peserta utama.

Sumbangsih Plato yang terpenting tentu saja adalah ilmunya mengenai ide. Dunia fana ini tiada lain hanyalah refleksi atau bayangan daripada dunia ideal. Di dunia ideal semuanya sangat sempurna. Hal ini tidak hanya merujuk kepada barang-barang kasar yang bisa dipegang saja, tetapi juga mengenai konsep-konsep pikiran, hasil buah intelektual. Misalkan saja konsep mengenai "kebajikan" dan "kebenaran". Salah satu perumpamaan Plato yang termasyhur adalah perumpaan tentang orang di gua. Ada yang berpendapat bahwa Plato adalah filsuf terbesar dalam sejarah manusia. Semua karya falsafi yang ditulis setelah Plato, hanya merupakan "catatan kaki" karya-karyanya saja.

2. Aristoteles

Aristoteles (384-322) berasal dari Stegeira di daerah Tharke, Yunani Utara. Ia belajar di sekolah filsafat yang didirikan Plato dan tinggal di Akademia hingga Plato meninggal dunia. Dua tahun kemudian Aristoteles diangkat sebagai guru pribadi Alexander Agung, barulah setelah Alexander Agung dilantik sebagai raja ia mendirikan sekolah yang dinamakannya Lykeion. Sebagaimana Plato yang sangat mengagumi gurunya, Aristoteles pun sangat mengagumi Plato sebagai pemikir dan sastrawan meskipun dalam filsafatnya Aristoteles menempuh jalan sendiri. Aristotels mengatakan bahwa Plato adalah sahabatnya, tetapi kebenaran lebih akrab dengannya (Bartness.1979:14).

Minat-minat Aristoteles terentang meliputi bidang alamiah dan manusia, termasuk didalamnya etika dan metafisika. Ia merupakan filsuf terkemuka dan terbesar. Asumsi ini dibuktikan berabad-abad melampaui zamannya, sehingga tulisan-tulisannya merupakan basis filsafat alamiah hingga abad ke-17, meskipun tetap terhindarkan adanya kesalah pahaman dan tulisannya pernah digunakan untuk menyusun dogma yang steril. Perbedaan pandangan antara dirinya dan Plato diawali oleh soal-soal mendasar (Jerome R. Rafertsz.2007:12-13).

Aristoteles menyatakan kritik yang sangat tajam terhadap pandangan Plato mengenai konsep Idea-idea. Ia bahkan menawarkan konsep baru yang dikemudian hari dinamakan hilemorfisme sebagai alternative bagi ajaran Plato mengenai Idea-idea (Bartness.1979: 15). Sekalipun demikian tidak dapat disangsikan Aristoteles tetap berutang budi kepada Plato karena dialah yang pertama kali mengungkap tentang idea-idea.

Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimesis, yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi, Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. Teew (1984: 221) mengatakan bila Aristoteles memandang seni sebai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya.

Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica (via Luxemberg.1989:17), Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau penyair memelih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.

Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan (Bertens.1979: 13).

3. Socrates

Socrates adalah anak seorang pemahat Sophroniscos, dan ibunya bernama Phairnarete, yang pekerjaannya seorang bidan. Istrinya bernama Xantipe yang dikenal sebagai seorang yang judes. Ia berasal dari keluarga yang kaya dengan mendapatkan pendidikan yang baik, kemudian menjadi prajurit Athena. Ia terkenal sebagai prajurit yang gagah berani. karena ia tidak suka terhadap urusan politik, maka ia lebih senang memusatkan perhatiannya kepada filsafat, yang akhirnya ia dalam keadaan miskin.

Seperti halnya kaum Sofis, Socrates mengarahkan perhatiannya kepada manusia sebagai objek pemikiran filsafatnya. berbeda dengan kaum Sofis, yang setiap mengajarkan pengetahuannya selalu memungut bayaran, tetapi Socrates tidak memungut bayaran kepada murid-muridnya. Maka, ia kemudian oleh kaum Sofis sendiri dituduh memberikan ajaran barunya, merusak moral para pemuda, dan menentang kepercayaan negara. Kemudian ia ditangkap dan akhirnya dihukum mati dengan minum racun pada umur 70 tahun yaitu pada tahun 399 SM. Pembelaan Socrates atas tuduhan tersebut telah ditulis oleh Plato dalam karangannya: Apologia.

Sejak muda Socrates telah terlihat sifat kebijaksanaannya, karena selain ia cerdas juga pada setiap perilakunya dituntun oleh suara batin yang selalu membisikkan dan menuntun ke arah keutamaan moral. Cara memberikan pelajaran kepada para muridnya dengan dialog (tanya jawab), yang bertujuan untuk mengupas kebenaran semu yang selalu menyelimuti para muridnya. Kebenaran semu tersebut muncul karena ketidaktahuan para muridnya tentang hal-hal tertentu. Dengan cara dialog pengetahuan semu akan terdobrak sehingga mampu keluar dan melahirkan pengetahuan yang sejati.

Peran Socrates dalam mendobrak pengetahuan semu itu meniru pekerjaannya ibunya sebagai seorang bidan dalam upaya menolong kelahiran bayi, akan tetapi ia berperan sebagai bidan pengetahuan. Teknik dalam upaya menolong kelahiran bayi pengetahuan itu disebut majeutike (kebidanan) yaitu dengan cara mengamat-amati hal-hal yang konkret dan yang beragam coraknya tetapi pada jenis yang sama. Kemudian unsur-unsur yang berbeda dihilangkan sehingga tinggallah unsur yang sama dan bersifat umum, itulah pengetahuan ssejati.

Pengetahuan sejati atau pengertian sejati sangat penting dalam mencapai keutamaan moral. Barangsiapa yang mempunyai pengertian sejati berarti memiliki kebajikan (arete) atau keutamaan moral berarti pula memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia.

Socrates dengan pemikiran filsafatnya untuk menyelidiki manusia secara keseluruhan, yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah yang keduanya tidak dapat dipisahkan karena keterkaitan kedua hal tersebut banyak nilai yang dihasilkan.

4. Rene Descartes (La Haye, Perancis, 31 Maret 1596Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650), juga dikenal sebagai Cartesius, merupakan seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Karyanya yang terpenting ialah Discours de la méthode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641).

Descartes, kadang dipanggil "Penemu Filsafat Modern" dan "Bapak Matematika Modern", adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah barat modern. Dia menginspirasi generasi filsuf kontemporer dan setelahnya, membawa mereka untuk membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai rasionalisme kontinental, sebuah posisi filosofikal pada Eropa abad ke-17 dan 18.

Pemikirannya membuat sebuah revolusi falsafi di Eropa karena pendapatnya yang revolusioner bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berpikir.

Dalam bahasa Latin kalimat ini adalah: cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa Perancis adalah: Je pense donc je suis. Keduanya artinya adalah:

"Aku berpikir maka aku ada". (Ing: I think, therefore I am)

Meski paling dikenal karena karya-karya filosofinya, dia juga telah terkenal sebagai pencipta sistem koordinat Kartesius, yang mempengaruhi perkembangan kalkulus modern.

5. Pythagoras

Ada dua hal yang besar sekali pengaruhnya dari Pythagoras,yaitu:

· Suatu ajaran rahasia dengan suatu kepercayaan, bahwa jiwa tidak dapat mati

· Usaha mempelajari ilmu pasti

Pertama-tama diajarkan bahwa jiwa adalah sesuatu yang berdiri sendiri, yang tidak berjasad serta tidak dapat mati. Oleh karena hukumanlah maka jiwa dibelenggu di dalam tubuh. Dengan penyucian (catharsis) orang dapat membebaskan jiwanya dari belenggu tubuhnya, sehingga setelah orang mati jiwanya akan mendapatkan kebahagiaan. Akan tetapi barang siapa tidak menyucikan diri atau penyuciannya kurang, jiwanya akan berpindah ke kehidupan yang lain, sesuai dengan keadaannya, baik berpindah ke binatang, tumbuh-tumbuhan, atau manusia. Penyucian diri terdiri dari melakukan pantangan-pantangan terhadap makanan tertentu. Seperti: daging, kacang, dll.

Menurut Pythagoras, asal segala sesuatu adalah bilangan, yang mewujudkan satu kesatuan.


Senin, 14 Juli 2008

FILSAFAT UMUM

TEORI MASLOW

Motivasi orang itu bisa dibagi menjadi 5 tingkatan kebutuhan manusia, dan kelima tingkatan itu bisa didapat jika (dan hanya jika) dilakukan secara berurutan, kelima tingkatan itu adalah sebagai berikut:

1. Makan (kebutuhan fisiologis), adalah merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat di hilangkan bila diabaikan akan bersifat fatal karena ini merupakan suatu hal untuk dapat mempertahankan kehidupan manusia. Jadi apapun bentuknya untuk masalah makan/perut manusia selalu mengutamakan hal ini, walaupun manusia memiliki ego yang tinggi tetapi tetap untuk masalah ini orang akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan utama ini,setelah ini didapat baru orang bebas memikirkan hal yang lain,tapi bila makan ini belum terpenuhi maka yang selalu dipikirkannya selalu bagaimana caranya untuk selalu memenuhinya.

2. Keamanan masa depan (karir), ini adalah merupakan salah satu tingkatan kabutuhan manusia yang harus dipenuhi pula, karena hal ini juga salah satu cara manusia untuk dapat mempertahankan hidupnya, karena untuk mendapatkan makanan manusia harus bekerja / berkarir sesuai dengan kemampuannya, sehingga ia dapat terus mencari makan dengan uang yang telah didapatnya setelah ia bekerja. Jadi bila manisia sudah mendapat pekrjaan hidupnya akan tenang karena ia sudah memproleh pendapat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

3. Cinta, merupakan kebutuhan manusia yang tidak kalah pentingnya dengan yang dua hal yang diatas tau kenapa karena dengan cinta manusia tidak dapat hidup, manusia butuh juga dengan namanya cinta karena cinta bisa membuat manusia hidup. Coba bila tidak ada cinta hidup manusia akan menjadi hambar/bosan karena hidupnya akan monoton begitu-begitu saja. Jadi cinta merupakan kebutuhan manusia yang sangat pentingnya juga, sebab manusia selain harus memenuhi kebutuhan perutnya manusia juga ingin dicinta dan mencinta dan dia juga ingin berkeluarga dan hidupnya bahagia.

4. Penghargaan, setelah manusia itu sudah dapat memenuhi kebutuhannya manusia juga ingin mendapatkan penghargaan, yang sudah ia lakukan selama itu sehingga ia ingin dihargai (diterima) oleh masyarakat dan lingkungannya. Seperti pujian dari teman-temannya atau lingkungannya berupa pujian, piagam, tanda jasa, hadiah dan lain sebagainya.

5. Aktualisasi diri, maksudnya kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya didalam masyarakat. Jadi bila ia sudah memperoleh semuanya ia akan terjun langsung kedalam masyarakat dan disini ia dapat diterima atau tidaknya dalam masyarakat, karena ia akan mengaktualisasi dirinya dengan melakukan apa yang diinginkan sesuai dengan bakat dan minatnya.

TEORI SIGMUND FREUD

Persepsi tentang sifat manusia

Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual tertentu pada masa enam tahun pertama dalam kehidupannya. Pandangan ini menunjukkan bahwa aliran teori Freud tentang sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik.

Dalam teori psikoanalitik, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari id, ego dan superego.

Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana sistem kerjanya dengan prinsip kesenangan pleasure principle”. Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil, dimana ketika manusia itu dilahirkan ia hanya memiliki Id saja, karena ia merupakan sumber utama dari energi psikis dan tempat timbulnya instink. Id tidak memiliki organisasi, buta, dan banyak tuntutan dengan selalu memaksakan kehendaknya. Seperti yang ditegaskan oleh A. Supratika, bahwa aktivitas Id dikendalikan oleh prinsip kenikmatan dan proses primer.

Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, dimana sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada di luar dirinya. Di sini ego berperan sebagai “eksekutif” yang memerintah, mengatur dan mengendalikan kepribadian, sehingga prosesnya persis seperti “polisi lalulintas” yang selalu mengontrol jalannya id, super- ego dan dunia luar. Ia bertindak sebagai penengah antara instink dengan dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari suatu organisme, seperti manusia lapar butuh makan. Jadi lapar adalah kerja Id dan yang memutuskan untuk mencari dan mendapatkan serta melaksanakan itu adalah kerja ego.

Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik- buruk, salah- benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego. superego adalah yang memegang keadilan atau sebagai filter dari kedua sistem kepribadian, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya. Di sini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan norma-norma moral masyarakat.

Selasa, 27 Mei 2008

Perenialisme, Progresivisme, dan Konstruktisivisme

PERENIALISME

Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai – nilai atau prinsip – prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Dalam pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal. Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.

Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:

Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauan, dan akal (Plato)

Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles)

Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. (Thomas Aquinas)

Adapun norma fundamental pendidikan menurut J. Maritain adalah cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi serta cinta kerjasama.

Progresivisme

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari

Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, William O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B. Thomas dan Frederick C. Neff.

Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Konstruktivisme

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:

  1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
  2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
  3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
  4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
  5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
  6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.

Konstruktivisme merupakan salah satu tradisi pemikiran yang sangat berpengaruh dalam studi hubungan internasional saat ini. Tradisi ini berkembang di Amerika sejak berakhirnya Perang Dingin sebagai reaksi terhadap kegagalan tradisi-tradisi dominan dalam studi hubungan internasional ¾ realisme dan liberalisme ¾ untuk memprediksi ataupun memahami transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis.

Kamis, 17 April 2008

Contoh Angket Sederhana sebagai SELF ASSEMENT

Lima karakter guru terbaik menurut saya:
  1. Memotivasi : memberikan dorongan dan semangat terhadap anak didiknya untuk belajar lebih giat.
  2. Bijaksana : memahami kemampuan yang dimilki oleh siswanya , contohnya tidak menganak emaskan siswanya (tidak pilih kasih).
  3. Tanggung jawab : maksudnya guru tersebut dapat menjalankan materi berdasarkan kurikulum yang ada terhadap siswanya.
  4. Wibawa : maksudnya guru tersebut bisa menguasai semua materi dan cara mengajarnya santai tetapi materi yang diberikan dapat dimengerti siswanya.
  5. Sabar dan Pengertian : maksudnya guru tersebut harus bisa mengerti keadaan siswanya dan dapat memahami perilaku siswanya.
  6. Ramah Tamah : maksudnya guru tersebut berbicara sopan dan bertutur kata dengan bahasa yang lembut (tidak sombong).
Lima karakter guru terburuk menurut saya:
  1. Emosi : maksudnya guru tersebut marah dengan siswanya tanpa alasan yang jelas.
  2. Banyak omong (cerewet) : maksudnya guru tersebut banyak bicara yang tidak jelas ketika menyampaikan materi kepada siswanya.
  3. Sombong : maksudnya guru tersebut selalu membanggakan dirinya di depan siswanya.
  4. Acuh tak acuh (cuek) : maksudnya guru tersebut tidak peduli dan tidak mengerti terhadap keadaan, kondisi dan kemampuan siswanya.
  5. Tidak disiplin : maksudnya guru tersebut tidak tepat waktu dalam belajar mengajar, misalnya selalu terlambat atau memotong waktu mengajar.
Demikianlah komentar saya tentang karakter guru yang saya ketahui, saya harapkan kritik dan saran guna untuk membangun ide saya agar lebih maju lagi.

Jumat, 11 April 2008

Teori Pendidikan

1. John Dewey

Pemikiran Filsafat John Dewey

John Dewey dan Pendidikan
Pembahasan di sini difokuskan pada John Dewey sebagai seorang pendidik, meskipun konsepsi pendidikan yang dirumuskannya sangat kental dengan pemikiran filosofisnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran-pemikiran Dewey banyak berpengaruh pada praktek pendidikan masakini. Seiring itu pula, pemikiran-pemikiran Dewey, banyak memperoleh tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Bagi mereka yang pro, pemikiran Dewey merupakan penyelamat pendidikan Amerika. Sebaliknya, mereka yang tidak sepakat, gagasan Dewey disebutnya sebagai lebih rusak dari gagasan Hitler.John Dewey adalah seorang filsuf dan pendidik, yang lahir tahun 1859 dan meninggal tahun 1952. Sebagai seorang filsuf, aliran filosofinya diklasifikasikan dalam kategori.

Pragmatisme, meskipun Dewey sendiri lebih sering menggunakan istilah instrumentalisme dan eksperimentalisme. Menurut Garforth (1996) filosofi pragmatisme sering diarahkan sebagai filosofi konsekuensi yang menggunakan hasil atau konsekuensi sebagai kriteria dalam keputusan. Inti kebebasan pada Dewey adalah kebebasan inteligensi, dimana kebebasan observasi dan justifikasi dilakukan atas dasar keinginan yang memiliki arti secara intrinsik, yaitu bagian yang dimainkan oleh pikiran dalam belajar. Konsepsi pendidikan sebagai suatu proses sosial diterapkan tidak hanya ke anak di sekolah melainkan juga sekolah dan masyarakat.

Konsep Dasar Pemikiran Pendidikan Dewey
Pola pemikiran Dewey tentang pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumentalisme yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman (experience), pertumbuhan (growth), eksperimen (experiment), dan transaksi (transaction) memiliki kedekatan yang akrab, sehingga Dewey mendeskripsikan filosofi sebagai teori umum pendidikan dan pendidikan sebagai laboran yang di dalamnya perbedaan-perbedaan filosofis menjadi kongkrit dan diuji. Pendidikan dan filosofi saling membutuhkan satu sama lain; dimana tanpa filosofi, pendidikan kering akan arahan inteligensi. Sebaliknya, tanpa pendidikan, filosofi kehilangan implementasi praktis dan menjadi mandul. Pengalaman merupakan basis dari keduanya, di mana pendidikan didefinisikan sebagai rekonstruksi dan reorganisasi dari pengalaman yang memberi tambahan pada arti pengalaman, dan yang meningkatkan kemampuan untuk mengarahkan pengalaman berikutnya. Dalam Pedagogic Creed, Dewey (1897) mendefinisikan itu menjadi lebih singkat, sebagai suatu rekonstruksi yang terus menerus dari pengalaman dan dalam Democracy and Education, Dewey (1961) mendefinisikan pendidikan sebagai penuntun secara intelegensia terhadap pengembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada kebiasaan pengalamaan.

Jika dielaborasi lebih lanjut, pemikiran di atas dapat diartikan bahwa untuk dapat tertarik pada sesuatu hendaknya terlibat dalam transaksi yakni dengan mengalami. Tesis ini berlaku baik pada anak maupun berbagai bentuk organisme lain. Pengalaman adalah suatu proses yang bergerak terus menerus dari suatu tahap ke tahapan rekonstruksi sebagaimana problem baru mendorong inteligensi untuk memformulasikan usulan-usulan baru untuk bertindak. Pada prinsipnya, pengembangan pengalaman datang melalui interaksi berbagai aktivitas (means) di mana pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses sosial. Makna sosial dalam pendidikan merupakan penekanan khusus dalam pemikiran pendidikan Dewey dan menentukan pandangan keduanya, anak di sekolah dan sekolah di masyarakat. Dalam banyak tulisannya, Dewey sering memberikan kritik terhadap sistem persekolahan tradisional, yang dapat dijelaskan di sini bahwa dalam sekolah tradisional, pusat perhatian berada diluar anak, apakah itu guru, buku, teks dan sebagainya. Kondisi ini merupakan kegagalan untuk melihat anak sebagai makhluk hidup yang tumbuh dalam pengalaman dan di mana dalam kapasitasnya untuk mengontrol pengalaman dalam transaksinya dengan lingkungan. Hasilnya pokok-persoalan terisolasi dari anak dan hubungan menjadi formal, simbolik, statis, mati; sekolah menjadi tempat untuk mendengarkan, untuk instruksi massal, dan selanjutnya terpisah dari hidup.

Menurut Dewey dalam Experience and Education, pendidikan merupakan persiapan. Dengan demikian pendidikan merupakan suatu rekonstruksi pengalaman, langkah ke depan, untuk persiapan berikutnya. Pencapaian goals masa depan di sini yang belum diketahui sebelumnya; melainkan didekati secara eksperimental dan dibentuk oleh konsekuensi-konsekuensi. Dalam konteks ini, Dewey mengkritisi segala upaya yang mencoba mendidik anak dengan pencapaian yang sudah pasti, yang memaksa mereka menimbang pola-pola prestasi sebagai antisipasi ke depan. Anak-anak tersebut dididik untuk menjadi warganegara (citizenship), untuk kejuruan (vocational), untuk pariwisata (leisure); mereka diajar membaca, berhitung, geografi, karena akan berguna untuk mereka dalam hidupnya. Namun, pemikiran ini hanya bisa diberlakukan dengan asumsi bahwa keterampilan yang dipelajari saat ini dapat secara efektif digunakan untuk kepentingan masa depan yang kemungkinan sekali berubah. Dalam hal ini, penggunaan keterampilan saat ini sebagai persiapan masa depan merupakan kontradiksi dengan pemikirannya bahwa pendidikan merupakan suatu proses kehidupan dan bukan suatu persiapan untuk kehidupan mendatang.

Dalam Experience and Education, Dewey ( 1938) mengkritisi bukan hanya sistem persekolahan tradisional melainkan juga bentuk-bentuk ekstrim dari pendidikan modern (progressive). Menurut dia tidaklah cukup untuk bereaksi secara negatif menentang masa lalu. Sekolah-sekolah maju telah menolak konsep subject-matter sebagai suatu produk akhir yang secara logika dihadirkan dalam berbagai buku. Mereka telah menolak kondisi kewenangan eksternal yang memuat kebebasan, ekspresi dan keindividuan. Mereka juga telah mengangkat pengalaman masa kini di atas masa lalu. Tetapi mereka tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap kerja positif dari berpikir konsekuensi-konsekuensi praktis posisi mereka sendiri. Tempat subject-matter dalam persekolahan, faktor-faktor pengontrol didalam pengalaman dan yang pasti menempati kewenangan eksternal, adalah fungsi kematangan dalam memandu yang belum matang (immature). Mereka juga tidak secara cukup menyadari bahaya yang melekat pada posisi mereka sendiri. Kebebasan, sebagai contoh, disalahtafsirkan sebagai laissez-faire, terlalu banyak penekanan pada keperluan anak saat ini dan menurutkan kata hati (impulses). Hal ini dapat mengarah pada pengabaian fakta dasar dari pertumbuhan, dan teori-teori baru yang cenderung terperosok ke dalam dogmatisme-dogmatisme ketat seketat yang lama, yang ingin digantinya.

Sumbangan Pemikiran John Dewey Terhadap Pendidikan
Apresiasi dan sumbangan pemikiran pendidikan John Dewey tidak dapat dipungkiri telah berdampak luas, tidak hanya di Amerika tetapi dunia. Di Amerika, disebutkan bahwa dialah orang yang lebih bertanggung jawab terhadap perubahan pendidikan Amerika selama tiga dekade yang lalu. Pada tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan akhir-akhir ini pada sekolah menengah dan tinggi, pengaruh Dewey telah memberikan rujukan terhadap praktek persekolahan, dari yang bersifat formal dan pengajaran yang penuh dengan gaya memerintah, ke arah konsep pembelajaran yang lebih manusiawi. Dalam hal ini pemikiran Dewey memberi rujukan tentang pusat dalam pembelajaran anak dan berproses dalam pengalamannya. Garis besar pemikiran pendidikan yang selalu dikaitkan dengan Dewey dan telah banyak memberikan kontribusi terhadap konsep-konsep pendidikan perlu digarisbawahi di sini. Menurut Garforth (1966) terdapat tiga pengaruh pemikiran Dewey dalam pendidikan yang dirasakan sangat kuat hingga saat ini.

Pertama, Dewey melahirkan konsepsi baru tentang kesosialan pendidikan, di sini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan selanjutnya oleh banyak penulis disebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Tetapi Dewey lebih dari itu, bahwa pendidikan adalah instrumen potensial tidak hanya sekedar untuk konservasi masyarakat, melainkan juga untuk pembaharuannya. Ini ternyata menjadi doktrin yang akhirnya diakui sebagai demokrasi, dimana Dewey memperoleh kredit yang tinggi dalam hal ini. Selanjutnya, hubungan yang erat antara pendidikan dan masyarakat bahwa dalam pendidikan harus terefleksikan dalam manajemennya dan dalam kehidupan di sekolah terefleksi prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang memotivasi masyarakat. Pendapat ini mengalami pengabaian dalam masa yang lama, meskipun akhirnya secara berangsur dapat diterima. Akhirnya, proses pembelajaran adalah lebih tepat disuasanakan sebagai aktivitas sosial, sehingga iklim kerjasama dan timbal balik menggeser suasana kompetisi dan keterasingan dalam memperoleh pengetahuan. Dengan ketiga penekanan dalam pendidikan tersebut, telah memberikan udara segar terhadap konsep pendidikan sebagai suatu proses sosial terkait erat dengan kehidupan masyarakat secara luas di luar sekolah; dan sebaliknya hal ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kehidupan masyarakat di sekolah, dan hubungan antara guru dan pengajaran.

Kedua, Dewey memberikan bentuk dan substansi baru terhadap konsep keberpusatan pada anak (child-centredness). Bahwa konsep pendidikan adalah berpusat pada anak, telah sejak lama dilontarkan, bahkan oleh Aristoteles. Namun, selama berabad-abad tenggelam dalam keformalitasan asumsi-asumsi psikologi klasik pada konsep klasik. Jika Rousseau, Pestalozzi, dan Froebel telah melakukan banyak untuk membebaskan anak dari duri miskonsepsi kewenangan, maka Dewey juga telah memberikan sumbangan yang sama terhadap dunia modern. Dalam hal ini Dewey mendasarkan konsep keberpusatan pada anak pada landasan-landasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Demikian pula, pada sebuah penelitiannya tentang anak, menjadi lebih menyakinkan dengan dukungan pendekatan keilmuan dan tidak terkesan sentimental.

Ketiga, Proyek dan problem-solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang Pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam teknik pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberikan kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dengan demikian Dewey lah yang telah membawa orang menjadi tertarik untuk menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah, termasuk digalakkannya kegiatan berlatih menggunakan inteligensi dalam rangka penemuan (discovery) .

2. Thorndike

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat da kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).

Teori Behavioristik:

  1. Mementingkan faktor lingkungan
  2. Menekankan pada faktor bagian
  3. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
  4. Sifatnya mekanis
  5. Mementingkan masa lalu

A. Edward Edward Lee Thorndike (1874-1949): Teori Koneksionisme

Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).

Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha –usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan.

Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:

S R S1 R1 dst

Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja enyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.

Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :

  1. Hukum Kesiapan(law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.

Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskanPrinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.

Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.

Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.

Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.

  1. Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.

Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.

  1. Hukum akibat(law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.

Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.

Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa dipeantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis(Suryobroto, 1984).

Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:

a. Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response).

Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

b. Hukum Sikap ( Set/ Attitude).

Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya.

c. Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element).

Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( respon selektif).

d. Hukum Respon by Analogy.

Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.

e. Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting)

Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.

Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian teorinya thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain :

  1. Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.
  2. Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
  3. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
  4. Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.

Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaiyu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.

3 Roseau

[bacayo] Mengenal Perjanjian Sosial Rousseau

Bacaan Cerdas
Mon, 25 Feb 2008 19:41:05 -080

Mengenal Perjanjian Sosial Rouseau

Ketiga pemikir ini: Hobbes, Locke, dan Rousseau erat dengan gagasan
perjanjian sosial. Ketiganya hadir dari ranah gelora abad pencerahan
yang bercirikan rasional, realis,dan humanis. Ketiganya juga memiliki
pandangan yang berbeda. Namun, dialektika pemikiran sosial dan
politik ketiga pemikir itu cukup berpengaruh di Eropa.

Latar belakang kehidupan para pemikir ini berpengaruh terhadap pola
pikir mereka. Semisal John Locke yang berada dalam kekuasaan raja yang
lalim, hingga ia merasa harus membela kebebasan berpolitik yang
menjadi tren di Eropa saat itu. Demikian pula pada Rousseau, ia adalah
orang biasa yang sama-sama berada dalam kekuasaan raja. Rousseau
menginspirasi terjadinya Revolusi Perancis.

Dalam review pendek ini, coba ditekankan pemikiran Rousseau soal
Kontrak Sosial yang diambil dari buku Du Contract Sosial. Judul buku
ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Perjanjian Sosial dan
diterbitkan ulang oleh Visimedia Pustaka.

Selengkapnya:
http://visimediapustaka.com/index.php?option=com_content&task=view&id=30&Itemid=

4. william James

Neo Teologi

Pengalaman Keagamaan dan Ragam Interpretasinya

Mendengar kata pengalaman (eksperimen) keagamaan bagi kita orang-orang Timur tidak menimbulkan rasa heran; karena kita menggunakan kata ini dalam perubahan permasalahan-permasalahan material dan fenomena-fenomena alam. Contohnya ketika kita ingin memperoleh data mengenai tipologi “logam” dalam panas dan atau tentang efek obat terhadap sebuah penyakit tertentu, kita mengatakan: Eksperimen membuktikan bahwa “logam dalam panas akan mengembang” dan atau “tumbuhan tertentu ini mengandung khasiat penenang” dan atau “antibiotik membunuh kuman”.

Akan tetapi mengenai kajian tentang “agama” yang bermakna “Tuhan”, kita tidak pernah menggunakan kata eksperimen; karena tidak ada artinya jika keberadaan yang superior dari materi diletakkan dalam area eksperimen.

Namun semenjak sarana kajian di Barat mulai berubah, dan pengalaman atau eksperimen mengambil alih kedudukan argumen, serta para ilmuan Barat meyakini hal itu sebagai obat dari setiap penyakit, maka sekelompok dari mereka berusaha juga membuka tali-temali problem permasalahan-permasalahan supranatural dari jalur ini, dan melontarkan pandangan yang menafikan atau menetapkan dengan berbagai eksperimen dalam hal ini, serta pada akhirnya melalui metode ini mereka juga membuktikan kemampuan eksperimen hingga dalam permasalahan-permasalahan di luar materi.

Sebab lain dari tendensi ini adalah karena “Hume” dan setelahnya “Kant” mengklaim bahwa keberadaan pencipta tidak memiliki argumen logis dan rasional, dan dalil-dalil “imkan dan wujud” dan “keteraturan” tertolak dan tidak dapat diterima. Ketika gelombang kritikan mereka sampai di kancah teologis dan filosofis, sebagian orang terpengaruh oleh ucapan-ucapan mereka. Mereka membayangkan bahwa permasalahan beragama tidak memiliki dimensi rasionalitas dan akhirnya mereka masuk melalui jalur pengalaman religius dan melalui jalan ini pula mereka keluar dari kondisi ateis.

Di dalam pengalaman religius disodorkan berbagai interpretasi yang dalam makalah singkat ini akan kita jelaskan sebagiannya kemudian akan kita analisa.

Interpretasi Pertama Terhadap Pengalaman Religius

1. Para dokter yang memiliki keahlian dalam operasi pembedahan dan kemahiran luar biasa dalam bidang spesialisasinya, terkadang putus asa dari kondisi pasien dan mereka melihat kondisi buruk pasien sedemikian rupa sehingga tidak berharap satu persen pun akan membaik, akan tetapi tiba-tiba kondisi pasien semakin pulih dan sehat dan perlahan-lahan penyakitnya hilang; di sinilah mayoritas dokter mengatakan telah muncul uluran tangan gaib yang memberikan kesembuhan kepadanya. Banyak sekali para dokter memiliki pengalaman-pengalaman semacam ini dan melalui jalan ini terbuka di hadapan mereka sebuah jendela ke arah alam gaib.

2. Terkadang para inventor dan penemu berhasil menyingkap sebuah hukum tanpa penelitian sebelumnya dan mereka tidak melihat faktornya selain kekuatan gaib.

Urgensi dan pengaruh ilham atau inspirasi dalam penemuan-penemuan ilmiah telah dikonfirmasikan oleh para ilmuan.

Pada tahun 1931 M dua orang kimiawan Amerika bernama Blatt dan Piker menyebarkan sebuah daftar pertanyaan di kalangan sekelompok ilmuan kimia untuk kajian mengenai urgensi inspirasi (ilham) dalam penemuan dan penyelesaian problema-problema ilmiah yang hasil-hasilnya dicetak dengan bentuk berharga. Salah seorang ilmuan menjawab pertanyaan tersebut demikian: Karena kesulitan-kesulitan dan berbagai macam kesamaran, saya memutuskan untuk menyingkirkan riset dan seluruh pikiran-pikiran yang berhubungan dengannya secara total. Keesokan harinya ketika saya sedang sibuk berat mengerjakan pekerjaan lain, seketika itu sebuah ide tiba-tiba bagaikan aliran listrik terlintas di benakku, dan itulah penyelesaian permasalahan laluku yang membuatku berputus asa secara total.

Laporan yang sama dinukil dari Henri Poincare (1854-1912 M) mate-matikawan ternama Perancis dan masih banyak lagi ilmuan-ilmuan ilmu pengetahuan alam, matematika, dan fisika.

Yang menarik perhatian adalah banyak dari inspirasi ilmiah yang menjadi sebab ditemukannya sebuah realita sangat berharga, bukan hanya tidak berhubungan dengan pekerjaan dan konsentrasi berpikir para ilmuan pada waktu aktifitas mereka, namun bahkan sedikit pun juga tidak berhubungan dengan bidang spesialisasi mereka. Manifestasi inspirasi dan penemuan semacam ini adalah penemuan Louis Pasteur (1842-1895 M) ilmuan kimia Perancis yang berhasil mendeteksi kuman.

3. Sekelompok orang menerima mimpi-mimpi yang menjelaskan dan menampakkan kenyataan sebagai satu macam pengalaman religius, mimpi-mimpi yang memberikan reportasi kejadiannya sebelum terjadi; contohnya melihat kematian ayah atau ibu atau keluarga dekat di alam mimpi dan beberapa bulan kemudian hal itu terjadi. Flammarion dalam buku rahasia-rahasia kematian berkenaan dengan hal ini menukil berbagai macam mimpi dan banyak orang juga mengalami mimpi-mimpi seperti ini dalam kehidupan mereka.

Pada dasarnya sesuatu yang belum terjadi di alam materi, bagaimana dapat menjelma di alam mimpi bagi manusia dan tidak meleset seujung jarum pun?! Mimpi-mimpi semacam ini tidak dapat dijustifikasi dengan faktor-faktor material.

4. Orang-orang yang tersesat di padang sahara panas menyaksikan kematian di depan kedua kaki mereka, dengan bertawassul kepada Tuhan terbukalah jalan bagi mereka, jalan yang tidak dapat diaplikasikan dengan pertimbangan-pertimbangan material.

Ringkasnya beberapa orang memiliki pengalaman-pengalaman dalam kehidupan mereka seperti terkabulnya doa, sembuhnya penyakit yang tidak terobati yang tidak dapat dijelaskan dengan dasar teori-teori alami dan seluruhnya mengisahkan adanya sebuah keberadaan supranatural yang menjadi sumber hal-hal semacam ini.

Apa yang kita paparkan di atas adalah contoh-contoh pengalaman religius dengan makna pertama yang menjadi keyakinan sekelompok orang akan alam supranatural.

Analisa Interpretasi Pertama

Kita perlu ingatkan bahwa pengalaman religius dengan artian ini secara langsung tidak dapat membuktikan keberadaan wâjibul wujûd dengan nama Tuhan. Pengalaman-pengalaman ini hanya dapat menumbangkan tembok prinsip materi dan membuktikan bahwa "keberadaan" tidak sama dengan materi, akan tetapi terdapat alam lain di balik tirai materi yang dihiasi dengan keistimewaan-keistimewaannya; karena kejadian-kejadian yang telah disebutkan dan yang semisalnya membuktikan bahwa hukum-hukum material tidak mampu menjelaskannya. Tentunya alam yang di atas itu memiliki penjelasannya, adapun yang kita katakan faktor kejadian-kejadian ini adalah Tuhan, tidak akan pernah dapat disimpulkan semacam itu dari hal yang demikian; karena bisa saja malaikat, dewi fortuna atau ruh dari ruh-ruh yang ada yang berpengaruh dalam kejadian-kejadian ini. Dari sinilah dalil ini memiliki sebuah efisiensi berupa meruntuhkan tembok demarkasi “keberadaan” dengan “materi”. Apabila kita ingin membuktikan keberadaan Tuhan dari pengalaman-pengalaman religius ini, setelah mendeklamasikannya kita harus membawakan dalil-dalil logis dan argumentatif yang berakhir pada jalur dalil imkan dan wujub.

Interpretasi Kedua Terhadap Pengalaman Religius

Para psikolog dengan berbagai eksperimen menemukan indera keempat manusia dan membuktikan bahwa setiap orang merasakan dari dalam batinnya bahwa dia dependen dengan derajat lebih tinggi dan seluruh perbuatannya bersumber dari sebuah keberadaan yang mahatinggi.

Kelompok psikolog ini dengan menemukan indera religius telah menghancurkan keterbatasan ketiga dimensi ruh dan membuktikan bahwa ruh dan jiwa manusia disamping tiga naluri yang terkenal juga memiliki indera lain bernama indera religius yang dari sisi prinsipnya tidak memiliki kekurangan dari tiga naluri yang telah disebutkan.

Tiga naluri yang disepakati berupa:

a. Naluri ingin tahu; yang menjadi sumber ilmu-ilmu pengetahuan manusia.

b. Naluri kebaikan; yang memunculkan akhlak dan menjadi tempat bersandarnya manusia dalam perbuatan-perbuatan baik.

c. Naluri estetika; yang menciptakan seni dan menjadi sebab manifestasi berbagai bakat.

Di samping ketiga naluri yang diterima oleh para psikolog, terdapat naluri keempat yang disebut dengan “naluri religius”. Naluri ini mengantar manusia merasakan semacam kecenderungan terhadap alam yang tinggi di dalam dirinya dan menyadarinya ketika dalam kondisi-kondisi sulit.

Menurut sebagian psikolog masa perkembangan naluri ini ketika usia seseorang sekitar 16 tahun. Berdasarkan pandangan Stanley “naluri religius” tampak dalam umur-umur seperti itu. Permasalahan ini dapat diyakini sebagai sebuah gambaran proses perkembangan kepribadian masa remaja, perasaan ini memberikan kesempatan kepada pemuda yang berada di bawah pengaruh berbagai potensi untuk menemukan sebab final (kausa prima) dirinya dalam keberadaan Tuhan.[1]

William James (1842-1910 M) termasuk perintis permasalahan naluri religius dan mengokohkan naluri ini sebelum yang lain-lain dalam penemuan-penemuannya. Dia memberikan urgensitas kepada naluri religius sedemikian rupa sehingga berkeyakinan bahwa mayoritas harapan kita berakar di dalam alam supranatural, dia mengatakan:

“Meskipun motifasi dan penggerak kecenderungan-kecenderungan kita bersumber dari alam natural, mayoritas kecenderungan dan harapan kita berasal dari alam supranatural; karena sebagian besarnya tidak sesuai dengan perhitungan-perhitungan material”.[2]

Dalam menjelaskan ucapan William James kita katakan:

Manusia menginginkan kekekalan dan kelanggengan hidup, dan jiwa berpikir tentang ke depannya memaksanya untuk mempersiapkan sarana-sarana kelanggengannya di dalam dunia ini, akan tetapi manusia ini pula menjadi sumber dari perbuatan-perbuatan yang tampaknya bertentangan sangat jauh dengan naluri ini. Misalnya para ibu yang sangat mencintai anak-anak mereka, terkadang rela mengorbankan keberadaan mereka demi anak-anak mereka; para pencinta ilmu pengetahuan melangkahkan kaki sampai kepada ujung tanduk kematian dalam rangka mendapatkan ilmu dan menyingkap rahasia-rahasia dunia sehingga banyak yang syahid di jalan ilmu pengetahuan; para pejuang di jalan kebenaran dan keadilan menaruh jiwa mereka di telapak tangan dan memerangi musuh-musuh untuk membela agama mereka.

Perbuatan-perbutan semacam ini tidak dapat diinterpretasikan dengan perhitungan-perhitungan material akan tetapi adalah sebuah tingkatan lebih tinggi yang menariknya kepada perbuatan-perbutan tersebut dan melihat kekekalan dan kelanggengan keberadaannya di dalam tujuan ini.

Ucapan ini ditafsirkan oleh ilmuan terkenal dunia Barat Einstein dengan bentuk demikian:

Aku tegaskan bahwa agama adalah motifasi terkuat dan tertinggi berbagai investigasi dan studi ilmiah, dan hanya mereka yang mengenal arti usaha keras di luar batas kebiasaan dan dugaan dari para ilmuan dan yang lebih penting dari itu pengorbanan dan usaha keras orang-orang yang berada di barisan depan dan para penjaga ilmu pengetahuan, yakni perbuatan yang tak diduga para pembuat teori, yang mampu memberikan kekuatan agung dan menjadi sumber seluruh ciptaan menakjubkan dan penemuan nyata studi-studi kehidupan.

Keharusan dan kepercayaan terhadap keteraturan alam semesta dan kecintaan aneh apakah yang memberikan kekuatan dan kemampuan kepada “Kepler”[3] dan “Newton” sehingga bertahun-tahun mereka terganggu dalam kesendirian dan ketenangan mutlak untuk menjelaskan dan keluar dari kerumitan kekuatan daya tarik (grafitasi) dan teori astronomi.

Akan tetapi hanya seorang yang memiliki sebuah gambaran terang dari sesuatu yang diilhamkan oleh para guide hakiki manusia dan mereka yang diberikan kekuatan saja yang dapat melangkahkan kaki ke jalan ini dan meluangkan bertahun-tahun umurnya di dalamnya.

Benar, yang memberikan kemampuan untuk bangkit kedua kalinya dan berjuang kepada orang-orang yang mau berkorban dan berjuang sepanjang abad, walaupun mengalami berbagai kekalahan dan kegagalan adalah naluri religius spesial ini. Salah seorang ilmuan kontemporer mengatakan bahwa di zaman penyembahan materi ini, orang-orang yang serius dan benar-benar berkhidmat kepada ilmu pengetahuan hanya mereka yang memiliki naluri-naluri religius mendalam.

Einstein pernah berkata: “Di antara otak-otak pemikir dunia sangat sulit ditemukan seorang yang tidak memiliki semacam naluri religius khusus dalam dirinya. Keyakinan (agama) ini berbeda dengan keyakinan orang biasa dan seorang ilmuan bersenjatakan keyakinan hukum sebab akibat alam wujud, dan keyakinannya membentuk riset menyenangkan tentang sistem-sistem menakjubkan dan kecermatannya terhadap alam semesta kadang-kadang menyingkap tirai dari rahasia-rahasianya, yang dalam tingkatan perbandingan dengannya, seluruh usaha keras dan pemikiran teratur manusia tidak lebih dari pantulan lemah dan tidak ada apa-apanya. Naluri (religius) ini adalah pelita jalan berbagai investigasi kehidupannya”.[4]

Mengenai naluri religius, dia memiliki ucapan lain:

“Terdapat sebuah akidah dan agama ketiga di tengah-tengah semua orang tanpa terkecuali, walaupun belum ditemukan pada seorangpun dengan formasi murni komplit, aku meyakininya sebagai naluri religius yang tercipta bersama wujud, sangat sulit aku jelaskan naluri ini kepada orang yang sama sekali tidak memilikinya, khususnya di sini tidak ada lagi kajian tentang Tuhan yang ditampakkan dengan berbagai bentuk. Dalam agama orang biasa dapat dirasakan harapan-harapan dan tujuan-tujuan manusia dan keagungan dan kemuliaan yang tampak di belakang hal-hal dan fenomena-fenomena di alam dan pemikiran-pemikiran, dia membayangkan keberadaan Tuhan sebagai penjara sebagaimana dia ingin terbang di dalam sangkar badan dan memperoleh seluruh keberadaan seketika sebagai hakikat tunggal”.[5]

Seputar pengalaman religius pada abad terakhir ini banyak sekali ucapan yang terlontarkan dan setiap ilmuan membuktikan prinsip naluri ini dengan sebuah penjelasan.

Salah seorang psikolog bernama Ronan berbicara sangat banyak mengenai prinsip religius, kini kita menukil sebagian ucapannya:

“Apakah naluri tendensi terhadap Tuhan di sisi manusia adalah sebuah naluri nyata dan hakiki, atau sebuah khayalan dan nonsense?!” Selanjutnya dia menjawab: Aku menerima dengan baik bahwa sumber kehidupan religius adalah hati dan formula-formula serta hukum-hukum filosofis dan makrifatullah, adalah seperti tema-tema terjemahan yang naskah aslinya dari bahasa lain”.

Dia mengingatkan dua efek mengenai naluri religius:

1- Jika manusia dapat melupakan segala sesuatu, akan tetapi ketertarikan kepada agama tidak akan pernah dapat terhapuskan.

2- Naluri religius memunculkan martabat dan beban pada manusia, sebagai kebalikan dari ateis yang memiliki dua efek saling bertentangan.

Kini kita menukil ucapannya tentang keistimewaan pertama:

“Mungkin pada suatu hari siapapun yang aku cintai akan tiada dan saling terpisah, apa saja yang lebih enak dan kenikmatan-kenikmatan kehidupan terbaik menurutku akan lenyap dan juga mungkin saja kebebasan menggunakan rasio dan ilmu serta seni menjadi sia-sia, akan tetapi sangat mustahil ketertarikan kepada agama akan sirna atau terhapus bahkan senantiasa akan selalu ada dan di dalam tatanan keberadaanku akan menjadi bukti yang benar dan saksi hidup terhadap kebatilan material”.[6]

Will Durant (1885-1981) mengatakan: “Agamawan tidak menciptakan agama akan tetapi sebagaimana seorang politikus menggunakan tendensi-tendensi fitrah manusia, dia juga menggunakannya untuk kepentingan-kepentingannya, akidah terhadap agama bukan penemuan tempat-tempat peribadatan akan tetapi penciptanya adalah fitrah manusia”.[7]

Analisa Interpretasi Kedua

Pembuktian naluri religius tidak menetapkan lebih dari hal ini bahwa keberadaan manusia bergantung kepada sebuah keberadaan mahatinggi dan superioritas dan senantiasa ingin melangkah ke arahnya serta mengagungkan dan tunduk di hadapannya. Dan adapun keberadaan superioritas tersebut tunggal atau berbilang, simpel atau tersusun, mungkin atau wajib, dan menurut istilah lengkapnya adalah Tuhan para filsuf dan teolog, tidak akan pernah dapat dibuktikan dan seharusnya mereka tidak mengklaim lebih dari itu.

Namun usaha-usaha ilmiah ini harus dihargai karena pada akhirnya ilmu dan pengetahuan manusia dapat menyingkap tirai dari fitrah makrifatullah seseorang yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an pada 14 abad sebelumnya dan menganggap kecenderungan beragama sebagai bagian dari penciptaan manusia.[8] Dan jika suatu hari nanti tabir kelalaian menutupi fitrah ini karena tenggelam di dalam kehidupan, maka pasang surutnya kehidupan akan membersihkan debu kelalaian dari atas fitrah dan pada kondisi tertentu akan berwasilah kepada zat yang mulia dan mahatinggi.

Interpretasi Ketiga Terhadap Pengalaman Religius

Maksud dari pengalaman religius adalah pengalaman irfani atau penyingkapan tabir atau kesaksian intuisi urafa terhadap keberadaan Tuhan. Urafa mengklaim bahwa mereka menyaksikan Tuhan secara intuitif sekali atau beberapa kali dalam sepanjang umur. Oleh karena klaim semacam ini terjadi pada berbagai masa dan di banyak tempat dan para pengklaim juga memiliki kejujuran moral maka kesaksian-kesaksian intuisi semacam ini dapat diambil sebagai bukti keberadaan Tuhan.

William Alston ( -1912) seorang epistemolog dan filosof agama kontemporer pengarang kitab “Idrak-e Khudâ” (Mengenal Tuhan) menafsirkan pengalaman religius dengan artian ini dengan tiga macam:

1- Pengalaman religius adalah naluri kepercayaan secara absolut kepada keberadaan mahatinggi yang independen dari berbagai imajinasi, keyakinan-keyakinan dan perbuatan-perbuatan pemilik pengalaman. Penafsiran ini adalah milik Frederich Schliemarcher (1768-1834).

2- Pengalaman religius memiliki sejenis persepsi dan perbuatan serupa dengan persepsi inderawi, sebagaimana persepsi atau pemahaman inderawi terformat dari tiga pilar: 1) Pemilik persepsi; 2) Yang menjadi bahan persepsi; 3) Manifestasi. (Manifestasi buku di dalam benak) demikian juga pengalaman religius atau istilah lebih khususnya pengalaman ketuhanan juga tersusun dari tiga pilar: 1- Pemilik eksperimen; 2- Tuhan; 3- Cara manifestasi Tuhan atas seorang pemilik eksperimen. Sebagaimana kita di dalam pengalaman-pengalaman inderawi memahami manifestasi segala sesuatu, pemilik pengalaman agama juga memahami sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya dengan penjelmaan Tuhan kepadanya. William Alston sendiri lebih memilih teori ini.

3- Pengalaman religius adalah sebuah pengalaman yang diterima oleh pelakunya sebagai pengalaman religius karena pengalaman ini tidak dapat dijelaskan atas dasar hal-hal alami. Wayne Prudfoot (1939- ) adalah pengusung dari tafsiran pengalaman religius ini, menurutnya pengalaman religius harus dideskripsikan atas dasar sistem keyakinan pelakunya, oleh karena itu dari pengalaman religius tidak dapat diperoleh sebuah deskripsi.[9]

Di kalangan pemikir-pemikir Barat, orang yang mendukung dan meyakini pengalaman religius adalah psikolog besar Amerika William James; di dalam buku “Anwâ-e Hâlât” (Macam-macam Kondisi) pada sebuah pasal bernama irfan mengatakan: Pengalaman religius memiliki empat keistimewaan [dia lebih banyak menekankan keistimewaan pertama dan kedua, bukan ketiga dan keempat]:

1- Tidak dapat dideskripsikan; Arif ketika kembali kepada kondisi normal, karena tidak dapat menjelaskan apa-apa yang disaksikannya akan merintih sebagaimana seorang pakar musik yang tidak dapat mentransfer keindahan musik kepada orang lain, dan menurut istilah kita sama seperti pesona dan daya tarik seseorang yang dapat dipahami akan tetapi tidak dapat disifati.

2- Menampilkan kenyataan; Pengalaman religius meskipun serupa dengan kondisi-kondisi psikologi seperti marah, senang, lapar dan dahaga akan tetapi dengan perbedaan bahwa kondisi-kondisi psikologi tidak memberikan sebuah pengetahuan dari luar kepada kita dan apapun yang ada berada di dalam diri manusia, sementara mengenai pengetahuan religius memberikan sebuah pengetahuan kepada kita dari luar.

3- Cepat berlalu; Kita dapat melihat sesuatu selama berjam-jam akan tetapi penglihatan arif cepat berlalu dan tidak dapat bertahan lama.

4- Bereaksi: Urafa mengucapkan serangkaian amalan dan wiridan atau zikir.

Setelah itu dia mengambil tiga buah konklusi dari pengalaman religius:

a- "Keberadaan" tidak sama dengan materi, dan alam supranatural merupakan alam lain.

b- Setiap arif akan sampai pada semacam kemanunggalan (wahdat) wujud, dan memandang dunia dengan kuantitasnya memiliki semacam kesatuan dengan Tuhan.

c- Dia melihat kumpulan dunia sebagai kebaikan dan keburukan.

Pengalaman-pengalaman irfani menjadi dalil bagi arif dan sebatas afirmasi bagi selainnya. Arif dengan sebuah kesaksian intuisi seperti ini, yang di luar dari kemampuan ilmu hushulinya, tidak memiliki keraguan terhadap keberadaan Tuhan, akan tetapi dibandingkan dengan selain arif, dalam hal pembuktian Tuhan adalah sebagai afirmasi dan dalam hal meruntuhkan keterbatasan "keberadaan" pada materi adalah sebagai dalil dan bukti.[10]

Analisa Interpretasi Ketiga

1- Arif dengan keyakinan finalnya akan keberadaan Tuhan, sedang melangkahkan kakinya pada jalan usaha keras dan latihan, dengan demikian kesaksian intuisi Tuhan bukan dalil baginya akan tetapi sebagai penguat keyakinan sebelumnya, dan apa yang telah diketahui dengan perantara ilmu hushuli sekarang ini dia saksikan dengan ilmu hudhuri.

2- Apa yang terlontarkan di dalam kesaksian intuisi urafa adalah kesaksian intuisi dependen diri dan alam akan keberadaan superioritas dan mahatinggi, dan jika mereka mengungkapkannya dengan kemanunggalan wujud maksudnya adalah diri dan alam dipahami secara artian literal dan dependen mutlak dan Tuhan diterima dengan artian nominal yang memiliki kesempurnaan independen, dan karena arti literal tenggelam di dalam arti nominal, maka tentu saja dia tidak akan menyaksikan sesuatu selain Tuhan.