Selasa, 06 Oktober 2009

TIPE MAKNA

TIPE MAKNA
Tipe makna adalah kajian makna berdasarkan tipenya. Tipe adalah pengelompokkan sesuatu berdasarkan kesamaan objek, kesamaan ciri atau sifat yang dimiliki benda, hal, peristiwa atau aktivitas lainnya. Leech membagi tipe makna menjadi tiga bagian besar. Yaitu:

Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Makna asosiatif ini sesungguhnya sama dengan perlambang-perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna ‘suci’ atau ‘kesucian’. Jadi, dapat dikatakan bahwa kata melati digunakan sebagai perlambang ‘kesucian’. Karena asosiasi ini berhubungan dengan nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang berlaku dalam suatu masyarakat bahasa yang berarti juga berurusan dengan nilai rasa bahasa. Kemudian yang termasuk dalam makna asosiatif adalah makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, makna refleksi, dan makna kolokatif.

Makna konotatif yaitu makna yang muncul dibalik makna kognitif atau muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap kata yang didengar atau yang dibaca. Makna konotatif merupakan makna leksikal + X. Dengan kata lain makna konotatif adalah bukan makna sebenarnya. Misalnya kata amplop. Kata amplop bermakna sampul yang berfungsi sebagai tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain, kantor, instansi atau jawatan lain. Makna ini adalah makna denotasinya atau makna sebenarnya. Tetapi pada kalimat “Berilah ia amplop agar urusannmu segera selesai,” maka kata amplop sudah bermakna konotatif, yakni berilah ia uang. Kata amplop dan uang masih ada hubungan, karena uang dapat diisi di dalam amplop. Dengan kata lain, kata amplop mengacu kepada uang, dan lebih khusus lagi uang pelancar, uang pelican, uang semir, uang gosok.
Di sini terdapat fakta bahwa makna kata amplop tidak sebagaimana adanya lagi, tetapi mengandung makna lain, yang kadang-kadang masih berhubungan dengan sifat, rasa, benda, peristiwa yang dimaksudkan. Dengan kata lain, maknanya bergeser dari makna yang sebenarnya. Dengan demikian makna konotatif lebih berhubungan dengan nilai rasa pemakai bahasa.
Istilah stilistika berasal dari istilah stylistics dalam bahasa Inggris. Istilah stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah. Jadi stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa.
Makna stilistika adalah makna yang melibatkan situasi sosial atau makna yang timbul akibat pemakaian bahasa. Makna stilistika berhubungan dengan pemakain bahasa yang menimbulkan efek, terutama kepada pembaca. Itu sebabnya makna stilistika lebih dirasakan di dalam karya sastra. Sebuah karya sastra akan mendapat tempat tersendiri di dalam diri kita karena kata-kata yang digunakan mengandung makna stilistika bagi kita. Ada efek yang ditimbulkan dalam pemakaian kata dan gabungannya.
Efek tersebut lebih banyak berhubungan dengan emosi, dengan perasaaan. Orang terharu karena digunakan kata yang menimbulkan efek terharu. Makna stilistika lebih banyak terlihat dalam hasil karya sastra, karena memakai gaya bahasa. Kata-kata yang digunakan sedemikian rupa sehingga pembaca tergerak perasaan pembaca. Makna stilitika diterapkan oleh penulis melewati kata-kata yang digunakannya. Makna stilistika biasanya dihubungkan dengan kata-kata yang digunakan dalam hasil karya sastra. Itu sebabnya makna stilistika lebih banyak digunakan melewati gaya bahasa. Sebenarnya kata yang digunakan oleh para sastrawan adalah kata-kata yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh pemakai bahasa, namun penempatannya diatur sedemikian rupa sehingga pembaca tertarik membaca hasil karya sastra tersebut. Gaya bahasa yang digunakan secara tepat akan menimbulkan rasa tertarik pada pembaca untuk membaca hasil karya sastra tersebut. Berikut contoh kutipan potongan roman Tenggelamnya Kapal van Der Wijk (Hamka, 1977:16). “ Ketika itu engkau masih amat kecil, katanya memulai hikayatnya, engkau masih merangkak-rangkak di lantai dan saya duduk di kalang hulu ibumu memasukkan obat ke dalam mulutnya. Nafasnya sesak turun naik, dan hatinnya rupanya sangat dukacita akan meninggalkan dunia fana ini. Ayahmu menangkupkan kepalanya ke bantal dekat tempat tidur ibumu. Saya sendiri berurai air mata, memikirkan bahwa engkau masih sangat kecil belum pantas menerima cobaan yang seberat itu, umurmu baru 9 bulan”.
…………………………………………………………………………………..
Membaca potongan roman ini terdapat kesan mengenai cara Hamka merangkai kata yang menimbulkan makna stilistika. Hati akan iba, terharu, padahal kata-kata yang digunakan oleh Hamka adalah kata yang biasa-biasa saja. Kita berhadapan dengan makna stilistika. Makna stilistika yang diwujudkan melalui penerapan gaya bahasa. Ada baiknya ditambahkan bahwa gaya bahasa Hamka berbeda dengan gaya bahasa penulis mana pun di dunia ini.
stilistika ialah sutu cara yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan idenya dengan bahasa yang indah sebagai medianya.
Gaya bahasa sesungguhnya terdapat dalam segala ragam bahasa: ragam lisan dan ragam tulis, ragam nonsastra dan ragam sastra, karena gaya bahasa ialah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu dan untuk maksud tertentu (Sobur, 2004:82). Maksud dari pernyataan itu ialah segala ragam bahasa pasti didalamnya tedapat unsur gaya bahasa. Berdasarkan cakupannya gaya bahasa memliki bagian yaitu diksi (pilihan kata), struktur kalimat, mjas dan citraan, pola rima, dan matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalamsebuah karya sastra (Sudjiman, 1993:13-14). pilihan kata atau diksi bukan hanya suatu kata-kata yang digunakan pengarang untuk menyatakan gagasannya, tetapi di dalam itu semua lebih menyangkut pada fraseologi, gaya bahasa yang digunakan serta ungkapan. Tidak banyak orang yang menyadari bahwa diksi atau plihan kata sesungguhnya sangat menentukan dalam penyampaian makna (Sudjiman, 1993:22). Maksudnya keterkaitan antara makna dan pilihan kata atau diksi sangat erat. Jika plihan kata yang digunakn tidak tepat maka makna yang ingin disampaikan akan sulit diterima karena adanya salah persepsi antara bacaan dan pembacanya.
stilistika adalah ilmu tentang gaya (bahasa). Stilistika itu sesungguhnya tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan, tetapi juga dalam bahasa pada umumnya. Namun, seperti dikemukakan oleh Turner (1977:7), bagaimanapun stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama bahasa dalam kesusastraan (bdk. Junus, 1989:xvii).
Telah dikatakan bahwa stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa (style). Dari definisi tersebut kemudian muncul pertanyaan: apakah gaya bahasa? Gaya bahasa adalah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu; (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1982:49--50; Mas, 1990:13--14).
stilistika adalah ilmu tentang gaya (bahasa). Stilistika itu sesungguhnya tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan, tetapi juga dalam bahasa pada umumnya. Namun, perlu diingat bahwa karya sastra merupakan kesatuan wacana yang memuat seluruh gagasan atau ide pengarangnya. Selain itu, karya sastra juga memiliki gaya bahasa yang umumnya mencerminkan totalitas karya, tidak hanya sekedar bagian-bagian dari aspek bahasa. Dengan demikian, analisis stilistika secara umum dilakukan sebagai upaya untuk menggali totalitas makna karya sastra dan analisis secara khusus yang mencoba melihat gaya bahasa bagian perbagian.
Telah diungkapkan bahwa stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa (style). Dari definisi tersebut kemudian muncul pertanyaan: apakah gaya bahasa? Gaya bahasa ialah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seorang penutur dalam bertutur atau menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu pula, dan (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1982:49-50; Mas, 1990:13-14; Suwondo, 2003:151-152). Dalam buku On Defining Style, Enkvist (Junus, 1989:4), menyatakan bahwa gaya adalah (1) bungkus yang membungkus inti pemikiran yang telah ada sebelumnya; (2) pilihan antara berbagai-bagai pernyataan yang mungkin; (3) sekumpulan ciri pribadi; (4) penyimpangan norma atau kaidah; (5) sekumpulan ciri kolektif; dan (6) hubungan antarsatuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada kalimat.
Dengan demikian, stilistika adalah ‘jembatan’ yang memanfaatkan aspek-aspek linguistik (di satu pihak) untuk mengkaji atau melakukan kritik terhadap karya sastra (di pihak lain). Hubungan itu tercipta karena stilistika mengkaji wacana sastra dengan oreintasi linguistik. Stilistika mengkaji cara sastrawan dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri yang membedakannya dengan wacana nonsastra, dan meneliti deviasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer. Dengan kata lain, stilistika meneliti fungsi puitik bahasa (Sudjiman, 1993:3; Suwondo, 2003:152).
Secara umum, lingkup telaah stilistika mencakupi diksi atau pilihan kata (pilihan leksikal), struktur kalimat, majas, citraan, pola rima dan matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (Sudjiman, 1993:13-14). Selain itu, aspek-aspek bahasa yang ditelaah dalam studi stilistika meliputi intonasi, bunyi, kata, dan kalimat sehingga lahirlah gaya intonasi, gaya bunyi, gaya kata, dan gaya kalimat (Pradopo dalam Suwondo, 2003:152).
Dalam studi stilistika, kemungkinan cara pendekatan yang dapat digunakan ada dua macam, yaitu (1) menganalisis sistem linguistik karya sastra yang dilanjutkan dengan interpretasi ciri-cirinya dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna total, dan (2) mengamati deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan estetisnya (Wellek dan Warren, 1990:226).









Daftar pustaka
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Pateda, Manseer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta.
Fatimah. Djajasudarma. T. 1999. Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung : Refika Aditama.
http://usupress.usu.ac.id/files/Stilistika%20Sastra%20Indonesia;%20Kaji%20Bahasa%20Karya%20Sastra_Final_Normal_bab%201.pdf

Sabtu, 03 Oktober 2009

catatan semantik

1. Makna Non-Referensial adalah sebuah kata yang tidak mempunyai referens atau tidak ada acuannya dalam dunia nyata.
Contoh pada kata-kata seperti dan, atau, dan karena.
2. Makna Konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun.
Contoh :
• kata kuda memiliki makna konseptual ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’.
• Kata rumah memiliki makna konseptual ‘bangunan tempat tinggal manusia’.
• Kata buaya memiliki makna konseptual ‘sejenis binatang reptil buas yang memakan binatang apa sajatermasuk bangkai’.
3. Makna Asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Makna asosiatif merupakan asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar kata tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan dan pengalaman seseorang.
Contoh:
• Kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
• Kata merah berasosiasi dengan berani atau juga ‘paham komunis’.
• Kata buaya berasosiasi dengan ‘jahat’ atau ‘kejahatan’.
4. Makna Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya. Baik secara leksikal maupun gramatikal.
Contoh:
• Hari ini koruptor itu akan di bawa ke meja hijau(pengadilan).
• Pak Amin membanting tulang(bekerja keras) demi mencukupi kehidupan rumah tangganya.
• Laki-laki tua itu menjadi kambing hitam(orang yang dipersalahkan) dalam persoalan perusahaannya.
5. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat; dan relasi semantic itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna.
Homonimi adalah ‘relasi makna antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda’. Kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon. Contoh homograf adalah kata tahu (makanan) yang berhomografi dengan kata tahu (paham) dan buku (kitab) yang berhomografi dengan buku (tempat pertemuan dua ruas), sedangkan kata masa (waktu) berhomofono dengan massa (jumlah besar yang menjadi satu kesatuan).
 Polisemi adalah sebuah kata atau satuan ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu.
Contoh:
• Kepalanya (bagian tubuh manusia) berdarah karena terbentur dinding.
• Kepala kantor (ketua atau pimpinan) itu sangat tegas kepada anak buahnya.
• Kepala surat ( sesuatu yang berada di sebelah atas) biasanya berisi nama dan alamat kantor.
Sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Contoh:
• Kata betul bersinonim dengan kata benar.
• Kata diabetes bersinonim dengan kata kencing manis.
• Kata bini bersinonim dengan kata istri.
Antonimi adalah hubungan semantic antara dua buah satuan ujaran yang maknanyamenyatakan kebalikan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Contoh:
• Kata cantik berantonim dengan kata jelek.
• Kata baik berantonim dengan kata buruk.
• Kata mati berantonim dengan kata hidup.
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Conoh:
Burung
Merpati terkukur perkutut cendrawasih cucakrawa kepondang
Meronimi adalah ‘relasi makna yang memiliki kemiripan dengan hiponim karena relasi maknanya bersifat hierarkis, namun menyiratkan pelibatan searah, tetapi merupakan relasi makna bagian dengan keseluruhan’. Contohnya adalah atap bermeronimi dengan rumah.
Makna Asosiatif adalah asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar kata tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan, dan pengalaman seseorang. Contoh makna denotatif vila adalah rumah peristirahatan di luar kota. Selain itu, bagi kebanyakan orang Indonesia vila juga mengandung makna asosiatif ’gunung’, ‘alam’, pedesaan’, ‘sungai’, bergantung pada pengalaman seseorang.
Makna Afektif adalah sesuatu yang berkaitan dengan perasan seseorang jika mendengar atau membaca kata tertentu. Perasaan yang muncul dapat positif atau negatif. Contoh makna afektif yang positif yaitu kata jujur, dermawan, bijaksana, adil. Sedangkan contoh makna afektif negatif yaitu korupsi, kolusi.
Makna Situatif adalah kata-kata yang memiliki fungsi deiktis – seperti pronominal persona (saya, kamu, anda), pronominal penunjuk (ini, itu), nomina yang merupakan keterangan waktu (lusa, besok, minggu depan), dan keterangan tempat (di sini, di sana, di dalam).
Makna Etimologis adalah sesuatu yang berkaitan dengan asal-usul kata dan perubahan makna kata dilihat dari aspek sejarah kata. Makna etimologis suatu kata mencerminkan perubahan yang terjadi dengan kata tertentu. Perubahan makna dapat menyempit atau meluas. Sebagai contoh, kata sarjana yang dalam bahasa sanskerta bermakna ‘orang-orang yang cakap, cerdik cendikia’, kini maknanya menyempit menjadi ‘gelar strata satu yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan pendidikan di perguruan tinggi.