Kamis, 25 Februari 2010
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Telaah Kurikulum
Disusun Oleh :
Chairunnisa (107013003259)
Halimatus Saadiah (107013001019)
Lutfi Sauqi (107013000334)
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
BAB I
PEDAHULUAN
Buku teks pelajaran sudah menjadi suatu kebutuhan untuk menunjang proses belajar. Buku pelajaran menurut ahli adalah media pembelajaran yang dominan peranannya di kelas. Oleh karena itu, pelajaran harus dirancang dengan baik dan benar dengan memperhatikan standar-standar tertentu. Standar buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (BSI) adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan berkenaan dengan bahasa dan sastra Indonesia; yang berkenaan dengan penulis, pengembangan naskah (yang mencakup isi atau materi, penyajian materi, bahasa dan keterbacaan, serta grafika) dan pemanfaatannya di sekolah; serta disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan keselamatan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Buku teks pembelajaran sekarang ini sudah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap pelajar. Dalam buku teks pembelajarn terdapat pendekatan dan aspek yang dinilai dalam buku teks pembelajaran. Berikut ini pendekatan buku teks yang ditetapkan oleh Pusat Perbukuan sejak tahun 2003, khususnya untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia.
1. Pedekatan Pembelajaran Bahasa Indonesia (Pendekatan komunikatif)
Ancangan (Pendekatan) Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah Pendekatan Komunikatif. Dalam ancangan pembelajaran komunikatif, pembelajaran bahasa bertumpu pada pengembangan kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa sebagai alat ungkap pesan/makna untuk berbagai tujuan berbahasa. Artinya, tujuan pembelajaran bahasa adalah keterampilan berbahasa siswa dalam hal membaca, mendengar, berbicara, dan menulis. Keterampilan itu merupakan wujud khas perilaku manusia yang bertumpu pada kebermaknaan. Implikasinya dalam pembelajaran bahasa adalah bahwa kebermaknaan merupakan persyaratan mendasar dalam pengembangan dan penyajian materi.
A. Ciri Pembelajaran Komunikatif
a. Pembelajaran mengarahkan siswa untuk menguasai bahasa dalam konteks komunikasi. Dengan demikian, pembelajaran Bahasa Indonesia mengarah pada kegiatan komunikasi nyata dan penugasan yang bermakna serta penggunaan bahasa yang bermakna bagi siswa.
b. Pembelajaran mencerminkan kebutuhan siswa, yakni keterampilan menggunakan bahasa secara bermakna, yang bersifat humanis, yakni menempatkan siswa pada posisi aktif.
c. Pengembangan kompetensi komunikatif mencakup kemampuan siswa untuk menafsirkan bentuk-bentuk linguistik, baik bentuk yang eksplisit maupun implicit.
B. Prinsip Pengembangan Kemampuan Komunikasi dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia
a. Prinsip Kebermaknaan: disesuaikan dengan kebutuhan siswa, bertumpu pada pemenuhan dorongan bagi siswa untuk mengungkapkan ide, pikiran, gagasaan, perasaan, dan informasi kepada orang lain, baik secara lisan maupun tertulis.
b. Prinsip Keotentikan bahan dan materi pelatihan berbahasa: dipilih teks/wacana tulis/lisan yang banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk: mengembangkan kemahiran fungsi berbahasanya, menekankan fungsi komunikatif bahasa, memenuhi kebutuhan berbahasa siswa. Bahan berisi petunjuk/pelatihan/tugas yang memanfaatkan media cetak atau elektronik seoptimal mungkin; didasarkan atas hasil analisis kebutuhan berbahasa siswa; sedapat mungkin bersifat otentik; mengandung pemakaian unsur bahasa yang bersifat selektif dan fungsional; serta mendukung terbentuknya performansi. Komunikatif siswa yang andal.
c. Prinsip Keterpaduan Materi
d. Prinsip Keberfungsian dalam pemilihan metode dan teknik pembelajaran
e. Prinsip Performansi Komunikatif, berupa kegiatan berbahasa, mengamati, berlatih, dan lain-lain.
f. Prinsip Kebertautan (kontekstual) berkaitan dengan pemanfaatan media dan sumber belajar.
g. Prinsip Penilaian yang menuntut sistem penilaian yang (a) mengukur kemahiran berbahasa secara menyeluruh dan terpadu, (b) mendorong siswa agar aktif berlatih berbahasa Indonesia secara tulis/lisan, baik produktif maupun reseptif, serta (c) mengarahkan kemampuan siswa dalam menghasilkan wacana lisan maupun tulisan.
2. Aspek yang dinilai dalam buku teks pembelajaran
a. Penyajian Materi
Aspek ini merupakan aspek tersendiri yang harus diperhatikan dalam buku pelajaran. Berkenaan dengan penyajian.
• Tujuan pembelajaran
• Keteraturan urutan
• Kemenarikan minat dan perhatian siswa
• Kemudahan dipahami
• Keaktifan siswa
• Hubungan bahan
• Latihan dan soal
b. Bahasa dan keterbacaan
Aspek bahasa merupakan sarana penyampaian dan penyajian bahan, seperti kosakata, kalimat, paragrap, dan wacana. Aspek keterbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa bagi kelompok atau tingkat siswa. Ada tiga ide utama yang terkait dengan keterbacaan, yakni:
Kemudahan membaca yakni berhubungan dengan bentuk tulisan atau tipografi, ukuran huruf, dan lebar spasi.
Kemenarikan yakni berhubungan dengan minat baca, kepadatan ide bacan, dan penilaian keindahan gaya tulisan.
Kesesuaian yakni berhubungan dengan kata dan kalimat, panjang pendek, frekuensi, bangun kalimat, dan susunan paragraf.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam buku teks Bahasa indonesia menggunakan pendekatan komunikatif yang dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia. Selain pendekatan komunikatif, dalam buku teks pembelajaran juga terdapat aspek yang harus dinilai yakni aspek penyajian materi dan aspek bahasa dan keterbacaan.
DAFTAR PUSTAKA
http://pondokpbsid07.wordpress.com/rambu-rambu-pembuatan-buku-teks/
http://budimeeong.files.wordpress.com/2008/05/inisiasi_pembelajaran_bahasa_indonesia_sd_3.pdf
http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php?menu=bmpshort_detail2&ID=278
Selasa, 06 Oktober 2009
TIPE MAKNA
Tipe makna adalah kajian makna berdasarkan tipenya. Tipe adalah pengelompokkan sesuatu berdasarkan kesamaan objek, kesamaan ciri atau sifat yang dimiliki benda, hal, peristiwa atau aktivitas lainnya. Leech membagi tipe makna menjadi tiga bagian besar. Yaitu:
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Makna asosiatif ini sesungguhnya sama dengan perlambang-perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna ‘suci’ atau ‘kesucian’. Jadi, dapat dikatakan bahwa kata melati digunakan sebagai perlambang ‘kesucian’. Karena asosiasi ini berhubungan dengan nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang berlaku dalam suatu masyarakat bahasa yang berarti juga berurusan dengan nilai rasa bahasa. Kemudian yang termasuk dalam makna asosiatif adalah makna konotatif, makna stilistika, makna afektif, makna refleksi, dan makna kolokatif.
Makna konotatif yaitu makna yang muncul dibalik makna kognitif atau muncul sebagai akibat asosiasi perasaan pemakai bahasa terhadap kata yang didengar atau yang dibaca. Makna konotatif merupakan makna leksikal + X. Dengan kata lain makna konotatif adalah bukan makna sebenarnya. Misalnya kata amplop. Kata amplop bermakna sampul yang berfungsi sebagai tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain, kantor, instansi atau jawatan lain. Makna ini adalah makna denotasinya atau makna sebenarnya. Tetapi pada kalimat “Berilah ia amplop agar urusannmu segera selesai,” maka kata amplop sudah bermakna konotatif, yakni berilah ia uang. Kata amplop dan uang masih ada hubungan, karena uang dapat diisi di dalam amplop. Dengan kata lain, kata amplop mengacu kepada uang, dan lebih khusus lagi uang pelancar, uang pelican, uang semir, uang gosok.
Di sini terdapat fakta bahwa makna kata amplop tidak sebagaimana adanya lagi, tetapi mengandung makna lain, yang kadang-kadang masih berhubungan dengan sifat, rasa, benda, peristiwa yang dimaksudkan. Dengan kata lain, maknanya bergeser dari makna yang sebenarnya. Dengan demikian makna konotatif lebih berhubungan dengan nilai rasa pemakai bahasa.
Istilah stilistika berasal dari istilah stylistics dalam bahasa Inggris. Istilah stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya, perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah. Jadi stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa.
Makna stilistika adalah makna yang melibatkan situasi sosial atau makna yang timbul akibat pemakaian bahasa. Makna stilistika berhubungan dengan pemakain bahasa yang menimbulkan efek, terutama kepada pembaca. Itu sebabnya makna stilistika lebih dirasakan di dalam karya sastra. Sebuah karya sastra akan mendapat tempat tersendiri di dalam diri kita karena kata-kata yang digunakan mengandung makna stilistika bagi kita. Ada efek yang ditimbulkan dalam pemakaian kata dan gabungannya.
Efek tersebut lebih banyak berhubungan dengan emosi, dengan perasaaan. Orang terharu karena digunakan kata yang menimbulkan efek terharu. Makna stilistika lebih banyak terlihat dalam hasil karya sastra, karena memakai gaya bahasa. Kata-kata yang digunakan sedemikian rupa sehingga pembaca tergerak perasaan pembaca. Makna stilitika diterapkan oleh penulis melewati kata-kata yang digunakannya. Makna stilistika biasanya dihubungkan dengan kata-kata yang digunakan dalam hasil karya sastra. Itu sebabnya makna stilistika lebih banyak digunakan melewati gaya bahasa. Sebenarnya kata yang digunakan oleh para sastrawan adalah kata-kata yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh pemakai bahasa, namun penempatannya diatur sedemikian rupa sehingga pembaca tertarik membaca hasil karya sastra tersebut. Gaya bahasa yang digunakan secara tepat akan menimbulkan rasa tertarik pada pembaca untuk membaca hasil karya sastra tersebut. Berikut contoh kutipan potongan roman Tenggelamnya Kapal van Der Wijk (Hamka, 1977:16). “ Ketika itu engkau masih amat kecil, katanya memulai hikayatnya, engkau masih merangkak-rangkak di lantai dan saya duduk di kalang hulu ibumu memasukkan obat ke dalam mulutnya. Nafasnya sesak turun naik, dan hatinnya rupanya sangat dukacita akan meninggalkan dunia fana ini. Ayahmu menangkupkan kepalanya ke bantal dekat tempat tidur ibumu. Saya sendiri berurai air mata, memikirkan bahwa engkau masih sangat kecil belum pantas menerima cobaan yang seberat itu, umurmu baru 9 bulan”.
…………………………………………………………………………………..
Membaca potongan roman ini terdapat kesan mengenai cara Hamka merangkai kata yang menimbulkan makna stilistika. Hati akan iba, terharu, padahal kata-kata yang digunakan oleh Hamka adalah kata yang biasa-biasa saja. Kita berhadapan dengan makna stilistika. Makna stilistika yang diwujudkan melalui penerapan gaya bahasa. Ada baiknya ditambahkan bahwa gaya bahasa Hamka berbeda dengan gaya bahasa penulis mana pun di dunia ini.
stilistika ialah sutu cara yang digunakan pengarang untuk mengungkapkan idenya dengan bahasa yang indah sebagai medianya.
Gaya bahasa sesungguhnya terdapat dalam segala ragam bahasa: ragam lisan dan ragam tulis, ragam nonsastra dan ragam sastra, karena gaya bahasa ialah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu dan untuk maksud tertentu (Sobur, 2004:82). Maksud dari pernyataan itu ialah segala ragam bahasa pasti didalamnya tedapat unsur gaya bahasa. Berdasarkan cakupannya gaya bahasa memliki bagian yaitu diksi (pilihan kata), struktur kalimat, mjas dan citraan, pola rima, dan matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalamsebuah karya sastra (Sudjiman, 1993:13-14). pilihan kata atau diksi bukan hanya suatu kata-kata yang digunakan pengarang untuk menyatakan gagasannya, tetapi di dalam itu semua lebih menyangkut pada fraseologi, gaya bahasa yang digunakan serta ungkapan. Tidak banyak orang yang menyadari bahwa diksi atau plihan kata sesungguhnya sangat menentukan dalam penyampaian makna (Sudjiman, 1993:22). Maksudnya keterkaitan antara makna dan pilihan kata atau diksi sangat erat. Jika plihan kata yang digunakn tidak tepat maka makna yang ingin disampaikan akan sulit diterima karena adanya salah persepsi antara bacaan dan pembacanya.
stilistika adalah ilmu tentang gaya (bahasa). Stilistika itu sesungguhnya tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan, tetapi juga dalam bahasa pada umumnya. Namun, seperti dikemukakan oleh Turner (1977:7), bagaimanapun stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama bahasa dalam kesusastraan (bdk. Junus, 1989:xvii).
Telah dikatakan bahwa stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa (style). Dari definisi tersebut kemudian muncul pertanyaan: apakah gaya bahasa? Gaya bahasa adalah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu; (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1982:49--50; Mas, 1990:13--14).
stilistika adalah ilmu tentang gaya (bahasa). Stilistika itu sesungguhnya tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan, tetapi juga dalam bahasa pada umumnya. Namun, perlu diingat bahwa karya sastra merupakan kesatuan wacana yang memuat seluruh gagasan atau ide pengarangnya. Selain itu, karya sastra juga memiliki gaya bahasa yang umumnya mencerminkan totalitas karya, tidak hanya sekedar bagian-bagian dari aspek bahasa. Dengan demikian, analisis stilistika secara umum dilakukan sebagai upaya untuk menggali totalitas makna karya sastra dan analisis secara khusus yang mencoba melihat gaya bahasa bagian perbagian.
Telah diungkapkan bahwa stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa (style). Dari definisi tersebut kemudian muncul pertanyaan: apakah gaya bahasa? Gaya bahasa ialah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seorang penutur dalam bertutur atau menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu pula, dan (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1982:49-50; Mas, 1990:13-14; Suwondo, 2003:151-152). Dalam buku On Defining Style, Enkvist (Junus, 1989:4), menyatakan bahwa gaya adalah (1) bungkus yang membungkus inti pemikiran yang telah ada sebelumnya; (2) pilihan antara berbagai-bagai pernyataan yang mungkin; (3) sekumpulan ciri pribadi; (4) penyimpangan norma atau kaidah; (5) sekumpulan ciri kolektif; dan (6) hubungan antarsatuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada kalimat.
Dengan demikian, stilistika adalah ‘jembatan’ yang memanfaatkan aspek-aspek linguistik (di satu pihak) untuk mengkaji atau melakukan kritik terhadap karya sastra (di pihak lain). Hubungan itu tercipta karena stilistika mengkaji wacana sastra dengan oreintasi linguistik. Stilistika mengkaji cara sastrawan dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri yang membedakannya dengan wacana nonsastra, dan meneliti deviasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer. Dengan kata lain, stilistika meneliti fungsi puitik bahasa (Sudjiman, 1993:3; Suwondo, 2003:152).
Secara umum, lingkup telaah stilistika mencakupi diksi atau pilihan kata (pilihan leksikal), struktur kalimat, majas, citraan, pola rima dan matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (Sudjiman, 1993:13-14). Selain itu, aspek-aspek bahasa yang ditelaah dalam studi stilistika meliputi intonasi, bunyi, kata, dan kalimat sehingga lahirlah gaya intonasi, gaya bunyi, gaya kata, dan gaya kalimat (Pradopo dalam Suwondo, 2003:152).
Dalam studi stilistika, kemungkinan cara pendekatan yang dapat digunakan ada dua macam, yaitu (1) menganalisis sistem linguistik karya sastra yang dilanjutkan dengan interpretasi ciri-cirinya dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna total, dan (2) mengamati deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan estetisnya (Wellek dan Warren, 1990:226).
Daftar pustaka
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Pateda, Manseer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta.
Fatimah. Djajasudarma. T. 1999. Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung : Refika Aditama.
http://usupress.usu.ac.id/files/Stilistika%20Sastra%20Indonesia;%20Kaji%20Bahasa%20Karya%20Sastra_Final_Normal_bab%201.pdf
Sabtu, 03 Oktober 2009
catatan semantik
Contoh pada kata-kata seperti dan, atau, dan karena.
2. Makna Konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun.
Contoh :
• kata kuda memiliki makna konseptual ‘sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’.
• Kata rumah memiliki makna konseptual ‘bangunan tempat tinggal manusia’.
• Kata buaya memiliki makna konseptual ‘sejenis binatang reptil buas yang memakan binatang apa sajatermasuk bangkai’.
3. Makna Asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Makna asosiatif merupakan asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar kata tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan dan pengalaman seseorang.
Contoh:
• Kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
• Kata merah berasosiasi dengan berani atau juga ‘paham komunis’.
• Kata buaya berasosiasi dengan ‘jahat’ atau ‘kejahatan’.
4. Makna Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya. Baik secara leksikal maupun gramatikal.
Contoh:
• Hari ini koruptor itu akan di bawa ke meja hijau(pengadilan).
• Pak Amin membanting tulang(bekerja keras) demi mencukupi kehidupan rumah tangganya.
• Laki-laki tua itu menjadi kambing hitam(orang yang dipersalahkan) dalam persoalan perusahaannya.
5. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat; dan relasi semantic itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna.
Homonimi adalah ‘relasi makna antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda’. Kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon. Contoh homograf adalah kata tahu (makanan) yang berhomografi dengan kata tahu (paham) dan buku (kitab) yang berhomografi dengan buku (tempat pertemuan dua ruas), sedangkan kata masa (waktu) berhomofono dengan massa (jumlah besar yang menjadi satu kesatuan).
Polisemi adalah sebuah kata atau satuan ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu.
Contoh:
• Kepalanya (bagian tubuh manusia) berdarah karena terbentur dinding.
• Kepala kantor (ketua atau pimpinan) itu sangat tegas kepada anak buahnya.
• Kepala surat ( sesuatu yang berada di sebelah atas) biasanya berisi nama dan alamat kantor.
Sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Contoh:
• Kata betul bersinonim dengan kata benar.
• Kata diabetes bersinonim dengan kata kencing manis.
• Kata bini bersinonim dengan kata istri.
Antonimi adalah hubungan semantic antara dua buah satuan ujaran yang maknanyamenyatakan kebalikan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Contoh:
• Kata cantik berantonim dengan kata jelek.
• Kata baik berantonim dengan kata buruk.
• Kata mati berantonim dengan kata hidup.
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Conoh:
Burung
Merpati terkukur perkutut cendrawasih cucakrawa kepondang
Meronimi adalah ‘relasi makna yang memiliki kemiripan dengan hiponim karena relasi maknanya bersifat hierarkis, namun menyiratkan pelibatan searah, tetapi merupakan relasi makna bagian dengan keseluruhan’. Contohnya adalah atap bermeronimi dengan rumah.
Makna Asosiatif adalah asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar kata tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan, dan pengalaman seseorang. Contoh makna denotatif vila adalah rumah peristirahatan di luar kota. Selain itu, bagi kebanyakan orang Indonesia vila juga mengandung makna asosiatif ’gunung’, ‘alam’, pedesaan’, ‘sungai’, bergantung pada pengalaman seseorang.
Makna Afektif adalah sesuatu yang berkaitan dengan perasan seseorang jika mendengar atau membaca kata tertentu. Perasaan yang muncul dapat positif atau negatif. Contoh makna afektif yang positif yaitu kata jujur, dermawan, bijaksana, adil. Sedangkan contoh makna afektif negatif yaitu korupsi, kolusi.
Makna Situatif adalah kata-kata yang memiliki fungsi deiktis – seperti pronominal persona (saya, kamu, anda), pronominal penunjuk (ini, itu), nomina yang merupakan keterangan waktu (lusa, besok, minggu depan), dan keterangan tempat (di sini, di sana, di dalam).
Makna Etimologis adalah sesuatu yang berkaitan dengan asal-usul kata dan perubahan makna kata dilihat dari aspek sejarah kata. Makna etimologis suatu kata mencerminkan perubahan yang terjadi dengan kata tertentu. Perubahan makna dapat menyempit atau meluas. Sebagai contoh, kata sarjana yang dalam bahasa sanskerta bermakna ‘orang-orang yang cakap, cerdik cendikia’, kini maknanya menyempit menjadi ‘gelar strata satu yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan pendidikan di perguruan tinggi.
Rabu, 03 Juni 2009
yang membedakan gender dan sex(jenis kelamin)
GENDER: untuk sifat dan pekerjaan bisa dipertukarkan,berbeda di tempat, non kodrati, dan dibentuk oleh masyarakat (konsumsi sosial).
Sabtu, 09 Mei 2009
curahan hati kedua
padahal belum tentu dia mengerti akan cintaku...
owh debu suci kau dapat melekat dan terbang setiap ada angin yang menghampirimu....
hingga kau selalu dapat bersinggah dimana saja yang kau inginkan...
dan kau tidak pernah takut kemana kau akan melekat....
Curahan Hatiii
seperti angin yang tak dapat kusentuh...
seperti bintang di angkasa yang tak dapat kuraih...
seperti itu juga ku tak dapat gapai cinta yang ada dalam hatimu...
jauh...
di balik tirai kebimbangan ku mencoba sadar dari mimpi dan anganku...!!
Rabu, 23 Juli 2008
Filsafat Umum
Tugas 4:
1. Tuliskan teori dan pemikiran Aristoteles tentang Etika dan Negara??
Jawab :
Aristoteles mempunyai perhatian khusus terhadap masalah etika. Karena etika bukan diperuntukkan sebagai cita-cita, akan tetapi dipakai sebagai hukum kesusilaan. Menurut pendapatnya, tujuan tertinggi hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Kebahagiaan adalah suatu keadaan di mana segala sesuatu yang termasuk dalam keadaan bahagia telah berada dalam diri manusia. Jadi, bukan sebagai kebahagiaan subjektif. Kebahagiaan harus sebagai suatu aktivitas yang nyata, dan dengan perbuatannya itu dirinya semakin disempurnakan. Kebahagiaan manusia yang tertinggi adalah berpikir murni.
Menurut Aristoteles, Negara akan damai apabila rakyatnya juga damai. Negara yang paling baik adalah Negara dengan sistem demokrasi moderat, artinya sistem demokrasi yang berdasarkan Undang-Undang Dasar.
2. Carilah informasi tentang Filsafat Skolastik melalui 5 tokoh dan pendapatnya?
Jawab :
Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Jadi, skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan sekolah. Perkataan skolastik merupakan corak khas dari sejarah filsafat abad pertengahan.
Terdapat beberapa pengertian tentang filasafat skolastik diantaranya sebagai berikut:
a. Filasafat skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama.
b. Filasafat skolastik adalah filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik dan buruk.
c. Filsafat skolastik adalah suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat, akan dimasukkan ke dalam bentuk sintesis yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.
d. Filasafat skolastik adalah filsafat Nasrani karena banyak dipengaruhi oleh ajaran gereja.
Filsafat Skolastik ini dapat berkembang dan tumbuh karena beberapa faktor yaitu faktor religius dan faktor ilmu pengetahuan.
1) Peter Abaelardus (1079-1180)
Abaelardus memberikan alasan bahwa berpikir itu berada di luar iman. Karena itu berpikir merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Hal ini sesuai dengan metode dialektika yang tanpa ragu-ragu ditunjukkan dalam teologi, yaitu bahwa teologi harus memberikan tempat bagi semua bukti-bukti. Dengan demikian, dalam teologi itu iman hampir kehilangan tempat. Ia mencontohkan, seperti ajaran Trinitas juga berdasarkan pada bukti-bukti, termasuk bukti dalam wahyu Tuhan.
2) Albertus Magnus (1203-1280)
Di samping sebagai biarawan, Albertus Magnus juga dikenal sebagai cendikiawan abad pertengahan,. Ia lahir dengan nama Albert von Bollstadt yang juga dikenal sebagai “doktor universalis” dan “doktor magnus”. Ia mempunyai kepandaian luar biasa. Di universitas
Terakhir ia di angkat sebagai uskup agung. Pola pemikirannya meniru Ibnu Rusyd dalam menulis tentang Aristoteles. Dalam bidang ilmu pengetahuan, ia mengadakan penelitian dalam ilmu biologi dan ilmu kimia.
3) Thomas Aquinas (1225-1274)
Menurut Aquinas, semua kebenaran asalnya dari Tuhan. Kebenaran diungkapkan dengan jalan yang berbeda-beda, sedangkan iman berjalan di luar jangkauan pemikiran. Ia mengimbau agar orang-orang untuk mengetahui hukum alamiah (pengetahuan) yang terungkap dalam kepercayaan. Tidak ada kontradiksi antara pemikiran dan iman. Semua kebenaran mulai timbul secara ketuhanan walaupun iman diungkapkan lewat beberapa kebenaran yang berada di luar kekuatan pikir.
Aquinas telah menafsirkan pandangan bahwa Tuhan sebagai Tukang Boyong yang tidak pernah berubah dan yang tidak berhubungan dengan atau tidak mempunyai pengetahuan tentang kejahatan-kejahatan di dunia. Tuhan tidak pernah mencipta dunia, tetapi zat dan pemikirannya tetap abadi.
Selanjutnya ia katakana bahwa iman lebih tinggi dan berada di luar pemikiran yang berkenaan sifat Tuhan dan alam semesta. Timbulnya pokok persoalan yang aktual dan praktis dari gagasannya adalah “pemikirannya dan kepercayaannya telah menemukan kebenaran mutlak yang harus diterima oleh orang-orang lain”. Pandanganya inilah yang menjadikan perlawanan kaum Protestan karena sikapnya yang otoriter.
4) William Ockham (1285-1349)
Ia merupakan ahli pikir Inggris yang beraliran skolastik dan ia menolak ajaran Thomas dan mendalilkan bahwa kenyataan itu hanya terdapat pada benda-benda satu demi satu, dan hal-hal yang umum itu hanya tanda-tanda abstrak.
Menurut pendapatnya, pikiran manusia hanya dapat mengetahui barang-barang atau kejadian-kejadian individual. Konsep-konsep atau kesimpulan-kesimpulan umum tentang alam hanya merupakan abstraksi buatan tanpa kenyataan. Pemikiran yang demikian ini, dapat dilalui hanya lewat intuisi, bukan lewat logika. Di samping itu, ia membantah anggapan skolastik bahwa logika dapat membuktikan doktrin teologis. Hal ini akan membawa kesulitan dirinya yang pada waktu itu sebagai penguasanya Paus John XXII.
5) Nicolas Cusasus (1401-1464)
Ia sebagai tokoh pemikir yang berada paling akhir masa skolastik. Menurut pendapatnya, terdapat tiga cara untuk mengenal, yaitu lewat indra, akal, dan intuisi. Dengan indra kita akan mendapatkan pengetahuan tentang benda-benda berjasad, yang sifatnya tidak sempurna. Dengan akal kita akan mendapatkan bentuk-bentuk pengertian yang abstrak berdasar pada sajian atau tangkapan indra. Dengan intuisi, kita akan mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi. Hanya dengan intuisi inilah kita akan dapat mempersatukan apa yang oleh akal tidak dapat dipersatuka. Manusia seharusnya menyadari akan keterbatasan akal, sehingga banyak hal yang seharusnya dapat diketahui. Karena keterbatasan akal tersebut, hanya sedikit saja yang dapat diketahui oleh akal. Dengan intuisi inilah diharapkan akan sampai pada kenyataan, yaitu suatu tempat dimana segala sesuatu bentuknya menjadi larut, yaitu Tuhan.
3. Tokoh filosofi dari zaman Renaissance antara lain Leonardo da Vinci, Machiavelli, Michelangelo, dan Giordano Bruno. Apa yang anda ketahui tentang mereka? Jelaskan!!!
Jawab :
Renaissance atau kelahiran kembali di Eropa merupakan suatu gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia, kemudian di Prancis, Spanyol, dan selanjutnya hingga menyebar keseluruh Eropa. Dan dibawah ini merupakan tokoh-tokoh filosofi dari zaman Renaissance.
A. Leonardo da Vinci (15 April 1452 – 2 Mei 1519) adalah arsitek, musisi, penulis, pematung, dan pelukis Renaisans Italia. Ia digambarkan sebagai arketipe "manusia renaisans" dan sebagai jenius universal. Leonardo terkenal karena lukisannya yang piawai, seperti Jamuan Terakhir dan Mona Lisa. Ia juga dikenal karena mendesain banyak ciptaan yang mengantisipasi teknologi modern tetapi jarang dibuat semasa hidupnya, sebagai contoh ide-idenya tentang tank dan mobil yang dituangkannya lewat gambar-gambar dwiwarna.Selain itu, ia juga turut memajukan ilmu anatomi, astronomi, dan teknik sipil bahkan juga kuliner.
B. Michaelangelo Buonarroti' atau nama lengkapnya dalam bahasa Italia Michelangelo di Lodovico Buonarroti Simoni (dalam bahasa Spanyol disebut Miguel Ángel; dalam bahasa Perancis disebut Michel-Ange, yang kurang lebih berarti Malaikat Mikail) (6 Maret, 1475 - 18 Februari, 1564) adalah seorang pelukis, pemahat, pujangga, dan arsitek zaman Renaissance. Ia terkenal untuk sumbangan studi anatomi di dalam Seni Rupa. Karyanya yang dianggap terbaik adalah Patung David, Pietà, dan Fresko di langit-langit Sistine's Chapel.
C. Niccolo Machiavelli
Niccolò Machiavelli (3 Mei 1469 – 21 Juni 1527) adalah diplomat dan politikus Italia yang juga seorang filsuf. Sebagai ahli teori, Machiavelli adalah figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa Renaisans. Dua bukunya yang terkenal, Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Diskursus tentang Livio) dan Il Principe (Sang Pangeran), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi pemerintahan di Italia Utara, kemudian menjadi buku umum dalam berpolitik di masa itu.
Il Principe, atau Sang Pangeran menguraikan tindakan yang bisa atau perlu dilakukan seorang seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Nama Machiavelli, kemudian diasosiasikan dengan hal yang buruk, untuk menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Orang yang melakukan tindakan seperti ini disebut makiavelis.
D. Western Philosophy
Giordano Bruno (1548, Nola – February 17, 1600, Rome) was an Italian philosopher, priest, cosmologist, and occultist. Bruno is known for his use and development of the art of memory, a mnemonic system based upon organized knowledge. He was also an early proponent of the idea of an infinite and homogeneous universe. Burnt at the stake as a heretic by the Roman Inquisition, Bruno is seen by some as the first "martyr [1] for science."